IJN - Banda Aceh I Sejak awal diserahkannya kasus dugaan korupsi PDKS Simeulue oleh Kejaksaan Agung RI kepada Kejati Aceh pada 27 Maret 2015 silam, Kejati Aceh berhasil menetapkan Darmili sebagai tersangka pada 18 Maret 2016. Namun hingga kini, hampir empat tahun berlalu, kasus tersebut belum juga dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi.
Pada 23 Januari lalu, Kasi Penkum Kejati Aceh, H. Munawwal Hadi, SH, MH mengatakan, temuan dana hasil korupsi yang mengalir ke rekening keluarga Darmili sedang diselidiki dan sudah diselesaikan oleh tim auditor kita melakukan audit terkait PDKS.
“Awal Februari akan disampaikan berapa kerugian negara yang masuk ke rekening keluarga tersangka diperkirakan mencapai 2,5 Milyar,” ujarnya.
Saat ditanya mengenai penyebab bisa molornya penanganan kasus korupsi PDKS yang dihadapi oleh penyidik Kejati Aceh, Kasi Penkum Kejati Aceh mengatakan bahwa kesulitan yang ditemui oleh tim penyidik Kejati Aceh yakni dikarenakan Darmili selaku tersangka kasus korupsi PDKS merupakan salah seorang mantan auditor.
Apalagi, hingga memasuki pertengahan Februari 2019 kasus Mega korupsi ini juga tidak kunjung dilimpahkan bahkan hasil audit pun tidak kunjung disampaikan kepada publik sebagaimana yang pernah dijanjikan oleh Kejati Aceh.
Hal ini juga mendapat perhatian khusus dari H. Abdullah Saleh, SH, salah seorang Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh.
“Sebenarnya, audit itu yang diminta BPKP. Kalaupun beliau mantan auditor di BPKP, tapi kan BPKP itu bukan punya Darmili. Dia juga sudah lama meninggalkan BPKP, sudah pernah jadi Bupati lalu anggota DPR, jadi tidak aktif lagi dia di BPKP sebagai auditor di sana,” ungkap anggota komisi DPRA H. Abdullah Saleh SH saat ditemui tim media ini di ruang Banggar DPRA, Senin (11/02/2019).
Seharusnya, kata Abdullah Saleh, sebelum ditetapkan tersangka sudah duluan diminta auditnya. Jika sekarang Jaksa mengatakan hasil audit tidak turun-turun atau tidak mereka dapatkan. Lalu, darimana mereka tau disana ada kerugian.
“Aparat penegak hukum harus bekerja profesional, ada tahapan ada mekanisme, ada juknis atau mutlak. Pada saat ditetapkan sebagai tersangka, buktinya itukan harus sudah cukup,” ucap ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA itu.
Proses penyidikan itu, lanjutnya, untuk menemukan bukti juga mengetahui siapa tersangkanya. Kalaupun perkaranya rumit bisa dilakukan gelar perkara lalu dipapar dan dibahas dengan melibatkan jaksa-jaksa senior yang profesional, bahkan biasanya kalau di kejaksaan tinggi, kepala kejaksaan juga ikut. Nanti dimintai pendapat-pendapat tentang kaitan dengan bukti-buktinya seperti apa ataupun setelah gelar perkara tidak cukup bukti tidak jadi diteruskan.
“Menurut saya kasus ini sudah bermasalah, bisa jadi karena buru-buru ditetapkan tersangka sementara bisa jadi bukti belum lengkap dengan audit BPKP,”katanya.
“Audit itu kalau tidak di BPKP bisa juga bisa di BPK. Jadi gak ada alasan,” tegas Abdullah Saleh.
Dia kembali menjelaskan, dokumen-dokumen yang disita jaksa saat dilakukan penyelidikan diserahkan ke BPKP ataupun BPK. Misalnya, berapa uang yang digelontorkan untuk PDKS, lalu bagaimana pengelolaan uang itu.
“Jadi, nggak ada hubungan dia mantan auditor, mantan ini mantan itu. Itukan namanya mencari-cari alasan saja. Kalau cukup bukti diteruskan, kalau tidak cukup bukti hentikan, jangan dibuat terkatung-katung,” tegas Abdullah Saleh yang juga salah satu advokat senior di Aceh.
Dia menambahkan, dalam sistem audit ada namanya tidak bisa diaudit, karena tidak didukung data yang cukup atau disclaimer.
Jadi, lanjut Abdullah Saleh, menurut data itu harus diserahkan oleh jaksa atau polisi. Kerja mengumpulkan data itu yang paling bisa maksimal itu ya aparat penegak hukum, mereka bisa masuk, bisa sita dokumen-dokumen yang ada. Sementara, BPK atau BPKP gak bisa lakukan penyitaan seperti polisi dan jaksa.
“Kalau memang mau buktikan Darmili terlibat, dokumennya kan cuma APBK, kemudian proses pencairan APBK, penggunaan anggarannya.
“Jadi apa yang rumitnya,"tanya Abdullah Saleh.
Bisa saja hal yang gak rumit, dibikin-bikin rumit?,” tutur Abdullah Saleh.
Kendatipun pada tahun 2018 Kejati Aceh memperoleh peringkat 5 nasional yang diperoleh Kejati dalam penanganan kasus Tipikor, namun sejumlah kasus juga tidak tuntas.
“Penilaian ini juga tidak bisa dipegang,”cetusnya sembari memberikan contoh penilaian yang diberikan kepada daerah hingga mendapatkan opini WTP dari BPK RI.
Ketika ditanya tentang modus dan motif suatu kasus diperlambat pelimpahannya, Abdullah Saleh menyebutkan macam-macam modus dan motifnya, namun yang paling buruk itu dijadikan ATM.
“Saya tidak tuduh kasus PDKS, tapi modus yang paling buruk itu, motif suatu kasus diperlambat ya karena ingin dijadikan ATM,”tutupnya. (Liputan rakyat).