IJN - Aceh Singkil | Pasca kemelut protes terkait pengangkatan Sekretaris Dewan Aceh Singkil, H.Suwan, S.Pd, oleh pimpinan DPRK setempat, dalam sidang paripurna beberapa waktu yang lalu, LSM Central Hukum dan Keadilan, setempat mendukung sikap Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid, mempersilahkan pimpinan Wakil Rakyat untuk menempuh jalur hukum. Hal tersebut disampaikan Direktur LSM CHK, Razaliardi Manik, melalui pesan WhatsAppnya, Sabtu 15 Juni 2019.
Pasalnya, ketiga pimpinan DPRK Aceh Singkil tersebut sepakat menolak dan tidak mengakui keberadaan sekwan yang baru diangkat oleh Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid, dalam mutasi beberapa waktu lalu.
Puncak perseteruan antara Bupati dengan ketiga pimpinan DPRK Aceh Singkil itu kian memanas, dalam rapat paripurna DPRK Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati Aceh Singkil Tahun Anggaran 2018, Rabu, 12 Juni 2019 lalu.
Pimpinan DPRK Aceh Singkil, Juliadi, yang saat itu memimpin rapat paripurna langsung membaikot jalannya rapat. Wakil Ketua DPRK, Juliadi yang mempimpin rapat tersebut memberitahukan bahwa penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati tidak akan dibahas sebelum pengangkatan Sekwan yang baru dibatalkan, atau setidaknya Bupati menunjuk Plt Sekwan.
“Rapat di skor sampai batas waktu yang tidak ditentukan”, ungkap Razaliardi menirukan ucap Juliadi saat memimpin sidang paripurna sambil mengetok palu dan langsung turun dari meja pimpinan rapat menuju ruangannya.
Direktur LSM Central Hukum & Keadilan (CHK) Aceh Singkil, menilai sikap pimpinan sidang ketika itu kurang beretika. "Masak pimpinan sidang seperti itu. Seharusnya dewan bisa membedakan antara hak dan kewajiban mereka",ujarnya.
Menurutnya, dewan harus memahami mana hak, dan yang mana kewajiban. Membahas LKPJ tahunan bupati itu adalah kewajiban dewan.
"Kalau tidak mau lagi menjalankan kewajiban, seharusnya mereka jangan terima gaji dong. Itu duit rakyat lo, rakyat yang menggaji mereka”, ungkapnya.
Memang diakui, dewan dalam hal ini pimpinan DPRK mempunyai hak untuk mempersoalkan pengangkatan sekwan yang katanya tidak dikonsultasikan Bupati kepada pimpinan DPRK sebagaimana yang diatur dalam perundang undangan. Namun, tempatnya bukan pada saat rapat paripurna dalam rangka penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati, jelasnya.
Seharusnya Dewan bisa meminta keterangan kepada Bupati dengan agenda yang dikhususkan untuk membahas atas pelanggaran perundang-undangan yang dilakukan oleh Bupati. Bahkan, jika memang benar telah melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan, Dewan juga bisa melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap bupati,katanya.
“Jadi penolakan atas kebijakan Bupati mengangkat Sekwan bukan pada saat rapat paripurna penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati kemaren. Bukan disitu tempatnya”, papar Razaliardi.
Razaliardi mengatakan, saran Bupati Aceh Singkil agar ketiga pimpinan dewan tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), saat ditanyai wartawan, merupakan langkah yang paling tepat.
“Saya memberikan dukungan dan sependapat dengan Bupati Aceh Singkil. Mari selesaikan lewat jalur hukum, itu lebih baik dan lebih berartabat”, pungkasnya.
Jangan gara-gara perbedaan penafsiran dalam memaknai peraturan dan perundang-undangan ini uang negara terkuras. Karena, yang berperkara adalah antar lembaga pemerintah, tentu biaya perkaranya juga akan ditanggung oleh negara.
Menurut pendapat Razaliardi, pengangkatan sekwan yang dilakukan oleh bupati sudah sesuai aturan. Dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disana disebutkan bupati hanya diminta berkonsultasi kepada pimpinan DPRK. Arti berkonsultasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pertukaran pikiran untuk mendapatkan kesimpulan bagi pihak yang datang berkonsultasi, dalam hal ini adalah bupati. Tapi bukan untuk mendapatkan persetujuan.
“Berkonsultasi itu maknanya adalah meminta pendapat atau dialog, bukan persetujuan. Dan menurut bupati hal tersebut sudah beliau lakukan. Soal pendapat itu dijalankan atau diterima oleh bupati, itu tergantung bupati. Tidak ada kewajiban bupati untuk harus menerima pendapat dari hasil berkonsultasi tersebut”, terangnya.
Lebih lanjut Razaliardi menyebutkan, berkonsultasi juga tidak harus formal, tapi bisa informal, dan tempatnya bisa dimana saja. Tidak harus datang ke kantor, tidak harus mengajukan surat permintaan resmi dan pakai berita acara segala.
“Dalam undang-Undang tidak ada disebutkan seperti itu, dalam penjelasan Undang-Undang tersebut juga tidak ada pengaturan seperti itu. Silakan baca Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh beserta penjelasannya”, tutup Razaliardi.
Penulis : Erwan
Editor : Rudi H