IJN - Banda Aceh | Fakultas Hukum Unsyiah dan Pusat Riset HAM Unsyiah serta didukung oleh Pusat Studi Ilmu Pemerintahan Unsyiah, Pusat Studi Kepolisian Unsyiah, ALSA, LKBH, BSUIA, P3KA, LBH Press, LBH Banda Aceh, Koalisi Masyarakat Reformasi Sektor Keamanan dan KontraS Aceh, Senin, 15 April 2019 menggelar diskusi publik setengah hari dalam rangka melanjutkan agenda reformasi sektor keamanan yang mengambil tema; “Reorganisasi: Tantangan Profesionalisme TNI di Era Reformasi”. Diskusi berlangsung di gedung pengadilan semu/LKBH Fakultas Hukum Unsyiah Darussalam, Banda Aceh.
Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum Unsyiah, Prof. Dr. Ilyas, S.H., M.H, dengan nara sumber Dr. M. Gaussyah, Ketua Pusat Studi Kepolisian Unsyiah, Asfinawati, Ketua YLBHI dan Hendra Saputra, Koordinator KontraS Aceh serta dimoderasi oleh Suraiya Kamaruzzaman dari Pusat Riset HAM Unsyiah.
Dekan Fakultas Hukum Unsyiah dalam kata sambutannya mengatakan, diskusi hari ini mengingatkan kita pada reformasi. Era yang menjadi titik perubahan dari Era orde baru dan Era orde lama, cenderung bahkan pada kenyataanya otoriter karena kekuasaan negara diback up oleh kekuatan bersenjata dan masuk kedalam kekuasaan.
“Dalam 3 tahun ini wacana dwi fungsi TNI digiring kembali. Bagaimana kita harus menyikapinya, apakah perlu reformasi kembali TNI secara total atau hanya mengidentifikasi potensi-potensi masalahnya saja,” kata Dekan Fakultas Hukum Unsyiah Prof. Dr. Ilyas, S.H., M.H.
Oleh karena itu, Dekan Fakultas Hukum Unsyiah mengajak peserta untuk memberikan solusi alterntif terhadap wacana TNI kembali aktif di ranah sipil.
“Wacana pengembalian dwi fungsi TNI tidak serta merta berasal dari pihak TNI sendiri tetapi ada dukungan dari pada pejabat sipil yang mendorong TNI terlibat di ranah sipil dengan harapan dapat memberikan mendukung kepada kekuasaan,” ujarnya.
Dr. M. Gaussyah sebagai narasumber yang tampil pertama mengungkapkan bagaimana konsep dwi fungsi ABRI, yaitu ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan serta ABRI sebagai kekuatan sosial politik.
“Pasca reformasi atau lebih tepatnya sejak ABRI memiliki pemisahan yang tegas Antara TNI dan POLRI dan sejak terbitnya UU NO. 34 tahun 2004 tentang TNI, praktis TNI hanya yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk pertahanan negara sedangkan POLRI untuk keamanan domestik,” kata Dr. M. Gaussyah.
Menurut Dr. M. Gaussyah, TNI berfungsi sebagai kekuatan sosial tidak masalah, tetapi sebagai kekuatan politik, khususnya di parlemen sudah tidak memungkinkan lagi karena pengalaman pahit masa lalu dan proses pemilu saat ini, selain itu juga sudah tidak ada lagi keinginan dari pihak TNI sendiri.
“Anggota TNI sudah dapat diberikan hak pilih aktif dalam hal ini menjadi pemilih pada saat pemilu dan bukan dipilih. Hak pilih ini adalah hak yang melekat pada seorang wagra negara, namun ini juga ada potensi negatifnya seperti politik praktis dan perpecahan di dalam tubuh kesatuan TNI itu sendiri,” papanya.
Hendra Saputra sebagai narasumber yang tampil kedua lebih banyak menyorot tentang bagaimana sejarah dwi fungsi ABRI lahir dan kemudian menjelma sebagai sebuah kekuatan politik yang besar dan mengusai semua lini kehidupan mulai dari pertahanan yang menajdi tugas pokok dan fungsinya, birokrasi.
“pemerintahan bahkan sampai ke level pemerintahan daerah sampai ke ranah bisnis. Agenda Reformasi TNI tidak hanya menghapus Dwi Fungsi ABRI namun restrukturisasi komando territorial, reformasi peradilan militer, penghapusan bisnis TNI dan profesionalisme militer (fungsi pertahanan),” kata Hendra Saputra.
Dinamika TNI, lanjut Hendra, yang terjadi pada saat banyak perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan, penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil, penguatan komando territorial, 41 MoU dengan berbagai Kementerian untuk tugas perbantuan, dan meminta perluasan kewenangan untuk terlibat dalam jabatan sipil.
“Sampai saat ini reformasi TNI belum berjalan optimal terutama di ranah bisnis yang sekarang sudah mulai berubah menjadi koperasi, namun di lapangan masih ditemukan penggunaan alat-alat negara bahkan senjata dalam menjalankan bisnisnya. Penundaan usia pensiun dan kemudahan dalam Kenaikan kepangkatan juga menjadi pemicu dari banyaknya perwira tinggi dan perwira menengah yang tidak memiliki jabatan,” ucapnya.
Pada sesi terakhir Asfinawati menyampaikan bahwa Aceh adalah daerah yang paling tepat dalam membicarakan tentang reformasi TNI karena Aceh adalah satu daerah di Indonesia yang pernah berdampak langsung dengan militerisme. Militerisme menciptakan iklim pengambilan keputusan politik dengan kekuatan menjadi bentuk normal penyelesaian sengketa sehingga meligetemasi kelanjutannya.
“Agenda reformasi TNI adalah sesuatu yang dirumuskan bersama oleh bangsa ini dan ditetapkan dalam TAP MPR VI/2000 dan TAP MPR VII/2000. Rencana dewan keamanan yang sempat muncul tahun 2015, kini muncul kembali untuk menjawab surplus perwira TNI yang tidak ada jabatan dan surplus dari setiap matra itu berbeda-beda,” kata Asfinawati.
Di sisi lain, tambahnya, rencana pelibatan TNI di berbagai kementerian juga ditentang oleh banyak pihak bahkan oleh purnawiran TNI seklaipun. TNI dapat terlibat di dalam ranah sipil yang sudah diatur di dalam UU No. 30 tahun 2004, sepanjang diminta oleh departemen terkait dan bukan diajukan oleh TNI.
“Namun penempatan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga sudah berjalan secara diam-diam, contohnya penempatan Letjen Doni Monardo di BNPB, yang kemudian Presiden Joko Widodo hanya mencoba melegalkannya dengan Surat Keputusan Presiden,” ungkapnya.
Menurutnya, Agenda reformasi di bidang peradilan militer juga belum selesai, prajurit yang melanggar tindak pidana umum sampai hari ini masih diadili di peradilan militer, padahal ranahnya pidana umum. Masih sering terjadi pengaburan antara tindak pidana dengan pelanggaran etik, padahal jelas-jelas terjadi.
“Demikian juga dengan bisnis TNI yang saat ini masih berjalan, apakah kita sadar di bandara tertentu masih dikuasai oleh koperasi TNI, beberapa sektor bisnisnya terutama angkutan (taxi) dan menimbulkan persaingan tidak sehat,” paparnya.
Tujuan konsolidasi masyarakat sipil adalah; melanjutkan reformasi TNI, mengurangi militerisme dan menghapus militerisasi.
“Tentara bukan pekerjaan sampingan dan mereka harus fokus pada sektor pertahanan negara. Paradigma pertahanan dunia saat ini sudah berubah tidak semata-mata perang man to man, tetapi sudah lebih mengarah kepada kekuatan nuklir, senjata radio, cyber war, hoaks dan lain-lain,” imbuhnya.
Editor : Mhd Fahmi