10 Des 2018 | Dilihat: 638 Kali

Ini Yang Dibahas Diskusi Publik Wali Nanggroe

noeh21
      
IJN | Banda Aceh - Diskusi Publik mengenai Lembaga Wali Nanggroe yang digelar Asian Law Student's Association (ALSA) Sejarawan Aceh, M. Adli Abdullah, Phd, Lembaga Wali Nanggroe merupakan konsensus politik dari UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh, Senin 10 Desember 2018.

Ketua Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI), Syarifah Rahmatillah, SH mengatakan bahwa Lembaga Wali Nanggroe pada pasal 96 dan 97 di UUPA Qanun Nomor 9 Tahun 2013 terdapat perbedaan yang sangat menonjol yakni dibolehkan untuk menjalin hubungan kerja dengan Pemerintah Pusat, DPR RI, DPD RI, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Kota.


BACA JUGA: Besok Fakultas Hukum Unsyiah Diskusi Quo Vadis Lembaga Wali Nanggroe


Berbicara konteks personal Malik Mahmud Al Haytar Wali Nanggroe harus dipisahkan dari pengertian dari sisi Lembaga Wali Nanggroe itu sendiri. Wali Nanggroe harusnya fokus kepada budaya dan tidak berkecimpung di dalam dunia politik yang dapat menimbulkan gesekan di antara masyarakat Aceh.

Substansi Lembaga Wali Nanggroe yang semula menjadi lembaga budaya pemersatu budaya dan adat masyarakat namun dengan adanya Qanun Nomor 9 Tahun 2013 sudah menjadikan berperan sebagai lembaga eksekutif.

Dari segi anggaran yang digunakan oleh Lembaga Wali Nanggroe juga terbilang fantastis dimana penggunaan anggaran yang belum dilakukan secara transparan.

Pakar Hukum Tata Negara Unsyiah, Prof. Dr. Husni, SH, M. Hum, mengatakan Lembaga Wali Nanggroe memiliki kaya institusi namun miskin fungsi sebab selama ini banyaknya majelis yang berada di bawah Lembaga Wali Nanggroe.

Di dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2012 dijelaskan yang menjadi polemik pemilihan Wali Nanggroe dilakukan secara musyawarah mufakat, sehingga pemilihan Wali Nanggroe tidak dilakukan secara voting seperti pemilihan kepala daerah sebelum reformasi.

Sementara Ketua Komisi I DPRA, Azhari Cage, S. IP mengatakan sebenarnya polemik keberadaan Lembaga Wali Nanggroe tidak bisa dianggap sebagai polemik tentang adanya wacana pembubaran Lembaga Wali Nanggroe.

Di dalam Qanun menjadi wewenang Tuha Peut, Tuha Lapan dan Majelis Fatwa yang untuk memilih Wali Nanggroe, dan hal ini menurutnya sudah diatur dalam Qanun yang memang sudah seharusnya dilaksanakan.