02 Apr 2020 | Dilihat: 995 Kali

Pemberlakuan Jam Malam di Aceh Bangkitkan Trauma Masa Konflik

noeh21
Peta Aceh Sumatera. Foto: Ilustrasi/Google
      
IJN - Banda Aceh | Aceh, selain dikenal dengan penerapan syariat Islam, juga dikenal sebagai salah satu daerah yang pernah mengalami konflik bersenjata dengan durasi puluhan tahun.

Memberlakukan jam malam dalam mencegah penyebaran covid-19 atau virus corona di Tanah Rencong, dianggap menimbulkan trauma masa lalu kepada generani yang pernah dihantui masa konflik puluhan tahun lalu.

Demikian disampaikan salah satu warga Aceh yang juga Kepala Ombudsman RI perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin Husin kepada media INDOJAYANEWS.COM, Kamis 2 April 2020.

"Tentang jam malam yang sedang diperlakukan di Aceh, kesan saya telah menimbulkan nostalgia traumatik. Kami teringat pada masa konflik yang pernah terjadi belasan tahun lalu," kata Taqwaddin.

"Bagi generasi kami, ingatan tersebut masih sangat kuat membekas. Ini beban psikologis yang harusnya dipertimbangkan saat akan ditempuh kebijakan pemberlakuan jam malam saat ini."

Masa lalu, di Aceh, jam malam diberlakukan dalam Darurat Sipil, yang kemudian meningkat menjadi Darurat Militer karena keadaan bahaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Tetapi sekarang, kan situasinya beda. Yang kita hadapi bukan pemberontakan, tetapi pandemik wabah virus corona yang mendunia. Di Provinsi lain di republik ini, yang status pandemiknya lebih parah, tidak diperlakukan jam malam," ungkapnya.

Bahkan, kata Taqwaddin, di Kenya pemberlakuan jam malam menuai masalah. Di Aceh justru sudah langsung memberlakukan jam malam yang ditandatangani oleh Plt Gubernur dan Forkopimda, termasuk Ketua DPRA.

"Saya heran, gimana proses ceritanya ini," ujarnya.

Menurut Kepala Ombudsman RI Aceh ini, pemberlakuan jam malam dalam Darurat Sipil di daerah, memposisikan Pemerintah Daerah sebagai Penguasa, yang karenanya seperti memiliki legalitas untuk bertindak represif kepada warganya. Namun begitu, Ia menjelaskan, memang dibenarkan dalam UU Keadaan Bahaya.

"Makanya, Presiden saja belum memberlakukan Darurat Sipil. Yang dikemukakan Presiden beberapa hari lalu, itu baru wacana. Tetapi yang diputuskan sebagai kebijakannya saat ini adalah pemberlaku Darurat Kesehatan Masyarakat, yang merupakan rezim dari UU Karantina Kesehatan. Inilah hukum positifnya saat ini," jelas Taqwaddin.

Ombudsman mendesak Plt Gubernur Aceh dan Forkopimda segera mencabut pemberlakuan jam malam di Ace, sebelum terjadinya kesan Pemerintah Aceh "melawan" Pemerintah Pusat.

"Hemat saya, apa yang telah diputuskan oleh Presiden dengan Kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) atau social dintancing sudah benar dan tepat," katanya.

Lebih lanjut Taqwaddin mengatakan, hal ini bisa dimaklumi dalam kondisi keuangan Indonesia dan dengan jumlah penduduk begitu banyak, karena tidak mudah bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan kebijakan lockdown dengan segala konsekwensinya.

"Saya kira, sebaiknya Pemerintah Aceh mengikuti saja kebijakan yang sudah digariskan oleh Pemerintah Pusat. Menurut saya, dengan kemampuan Dana Otsus yang Aceh miliki saat ini, maka refocusing Anggaran untuk penanganan Covid-19 bisa dioptimalkan," harapnya.

"Apalagi jika kita cermati angka-angka : perjalanan dinas, pengadaan dan perawatan mobil, training, dan lainnya yang mencapai ratusan miliar. Maka jika tiga item itu saja difokuskan ke penanganan virus corona maka ditemukan angka Anggaran sekitaran 600-an Milyar. Itu memadai untuk upaya pencegahan dan penanganan virus corona dilakukan secara optimal," demikian tutupnya.