24 Jan 2019 | Dilihat: 1326 Kali

Polemik Persyaratan Calon Kepala Daerah di Aceh

noeh21
Kegiatan Bedah Kasus di Unsyiah
      
IJN - Banda Aceh I Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala melalui Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala bekerjasama dengan Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) Universitas Syiah Kuala menggelar "Forum Ilmiah Akademia" berupa BEDAH KASUS di Ruang Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Lt. 2 Darussalam, Banda Aceh, Kamis 24 Januari 2019 sekira pukul 09.00 WIB.

Kegiatan bedah kasus kali ini kali ini mengangkat tema "Polemik Persyaratan Calon Kepala Daerah di Aceh (Studi Kasus terhadap PILKADA di Kota Subulussalam)".

Dalam kegiatan Bedah Kasus kali ini  penyelenggara menghadirkan 3 (tiga) Pembedah sekaligus Narasumber Kunci yaitu Zainal Abidin, S.H., M.Si., MH (Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara - HTN Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala), Abdullah Saleh, S.H (Ketua Badan Legislasi - Banleg DPRA), Zulfikar Sawang, S.H (Advokat/Ketua PERADI Kota Banda Aceh) 

Pantauan media ini kegiatan Bedah Kasus ini dihadiri oleh 94 peserta yang berasal dari berbagai unsur diantara Para Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Beberapa Advokat, Para Mahasiswa Unsyiah dan UIN Ar Raniry, P3KHAN LAN Aceh, Utusan KODAM IM, Utusan Kemenkumham Kanwil Aceh, Utusan beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Unsyiah dan UIN Ar Raniry, Utusan Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Gerakan Bela Negara (DPW GBN), Utusan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA), Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum (DIH), dan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (MIH), Para Pengamat dan Aktifis Demokrasi dan Hukum, segenap Ormas dan OKP.

Kurniawan S, S.H., LL.M selaku Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala yang juga sebagai penyelenggara  dalam kegiatan tersebut menyebutkan bahwa terselenggaranya Forum Ilmiah Akademia berupa Bedah Kasus ini merupakan wujud dedikasi atas kepedulian Universitas Syiah Kuala sebagai JANTONG HATE RAKYAT ACEH melalui Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala dan Pusat Studi Ilmu Pemerintahan (PSIP) Univ. Syiah Kuala untuk hadir memberikan solusi terhadap setiap polemik kebijakan/hukum yang berkembang di Aceh.

Kegiatan Bedah Kasus ini dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dalam hal ini diwakili oleh Wakil Dekan I yaitu DR. Azhari Yahya, S.H., MCL., MA.

Zulfikar Sawang (Kuasa Hukum Penggugat) sebagai salah satu Pembedah dalam kegiatan tersebut mengatakan bahwa "Fakta hukum sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016, Pasal 24 huruf b menegaskan bahwa "Pasangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota harus memenuhi persyaratan adalah orang Aceh".

"Sebelum lahirnya Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016, tersebut tidak masalah. Jadi, apabila ada Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Walikota yang bukan orang Aceh maka tidak menjadi masalah karena belum ada ketentuan mengenai hal itu. Namun setelah 2016, tidak boleh lagi sebab Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016 mengikat semua pihak", lanjut Zulfikar.

Zulfikar melanjutkan, jika ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 huruf b Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016 tersebut dikesampingkan  sehingga tidak dijadikan dasar, berarti kita telah tidak mengikuti Qanun Aceh tersebut, sedangkan Qanun Aceh merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.

"Penyelenggara Pilkada di Aceh seharusnya mengikuti dan menegakkan segala ketentuan yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, termasuk mengenai syarat Orang Aceh sebagai salah satu syarat Bakal Calon Kepala Daerah", sebut Zulfikar.

Dengan ditetapkannya H. Affan Alifian "Yang Bukan Orang Aceh" sebagai Bakal Calon (BALON) Walikota Subulussalam oleh KIP Subulussalam, bermakna bahwa KIP Kota Subulussalam sebagai penyelenggara Pemilu telah mengenyampingkan Ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 huruf b Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016 tersebut, tegas Zulfikar Sawang.

Zulfikar Sawang melanjutkan, dengan demikian, Keberadaan H. Affan Alfian tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24 huruf b Qanun Aceh No. 12 Tahun 2016 tersebut.

Oleh karena itu, secara otomatis pasangan H. Alfian Afan dan Salmaza dengan sendirinya tidak sah sebagai Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam. Dengan demikian, Keputusan KIP Kota Subulussalam Nomor 64/HK.03.1-Kpt/03/KIP-SS/VIII/2018 di mata hukum dengan sendirinya tidak sah karena mengalami cacat hukum sehingga harus dinyatakan batal demi hukum atau dinyatakan tidak sah atau setidak tidaknya haruslah dibatalkan, tegas Zulfikar Sawang.

"Permasalahan ini sedang dalam proses hukum di tingkat banding (PT TUN Medan), dan tentulah apapun putusan pengadilan apabila telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) wajib kita hormati", tutup Zulfikar Sawang.

Sementara Ketua Badan Legislasi (BANLEG) DPRA yaitu Abdullah Saleh, S.H sebagai Pembedah II mengatakan bahwa "Syarat ORANG ACEH sebagai salah satu syarat untuk menjadi Calon Kepala Daerah menurut UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tepatnya Pasal 211 ayat (1) menyatakan "Orang Aceh)" adalah Setiap individu yang lahir di Aceh atau memiliki garis keturunan Aceh, baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui diri sebagai orang Aceh". 

Sementara Zainal Abidin, S.H., M.Si., MH (Akademisi Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala) sebagai Pembedah III mengatakan bahwa "Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang mensyaratkan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota harus ORANG ACEH perlu dibuat hukum acara atau petunjuk teknisnya untuk menentukan kualifikasi bagaimana yang dikatakan seorang person itu orang Aceh. Sehingga tidak menimbulkan disparitas dalam memahami dan membuat keputusan tentang orang Aceh. Oleh karena diketahui baik dalam Pilkada maupun Pemilu banyak otoritas yang diberi kewenangan memutus perkara Pilkada/Pemilu. Dalam praktik jamak diketahui satu perkara Pilkada/Pemilu terdapat putusan berbeda beda diantara Panwaslih, Peradilan, DKPP dan KIP". 

"Calon kepala daerah yang merasa keberatan terhadap keputusan itu dapat mengajukan keberatannya ke PTUN, setelah terlebih dahulu wajib menempuh upaya admistratif di Bawaslu/Panwaslih. Kecuali sengketa/ perselisihan hasil Pilkada tidak dapat diselesaikan oleh PTUN karena menjadi kompetensi absolut Mahkamah Konstitusi", tegas Zainal.
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas