27 Feb 2020 | Dilihat: 1102 Kali

Ketua DPD PDI Perjuangan Paparkan Solusi Pengentasan Kemiskinan di Aceh

noeh21
Ketua DPD PDI Perjuangan Aceh, Muslahuddin Daud.
      
IJN - Banda Aceh | Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada acara Keunduri Kebangsaan yang diselenggarakan di Bireuen pada 22 Februari 2020 lalu merupakan cambuk bagi Pemerintah Aceh untuk segera melakukan pembenahan di berbagai bidang, terutama tentang pengentasan kemiskinan, yang dinilai sangat lambat ditangah besarnya kucuran dana dari Pemerintah Pusat.

Secara gamblang Presiden Jokowi menyebutkan besarnya kucuran dana ke Aceh khususnya dana otonomi khusus, belum mampu menjawab persoalan krusial kemiskinan yang kini masih berkisar di angka 15 persen atau menjadi daerah termiskin pertama di Sumatera.

Berangkat dari teguran keras Presiden Jokowi terhadap Plt Gubernur Aceh dan pemangku kepentingan di Tanah Rencong, Ketua DPD PDI Perjuangan Aceh, Muslahuddin Daud, menjelaskan, diskursus soal pengentasan kemiskinan seperti tidak ada habisnya. Seluruh instrumen dan perangkat pemerintah menyebutkan salah satu indikator utama keberhasilan kelembagaannya adalah penurunan angka kemiskinan.

"Paling tidak kalau di level provinsi ada 12 SKPA yang mengklaim langsung berkaitan dengan isu ini. Meskipun tidak dapat dipungkiri, langsung maupun tidak langsung seluruh rangkaian proses pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta juga sangat berhubungan dengan pengentasan kemiskinan ini," kata Muslahuddin Daud pada Media INDOJAYANEWS.COM, Kamis 27 Februari 2020.


Secara konsepsi dan teoritik, kata Muslahuddin, cukup banyak literasi yang dapat dituangkan dalam kebijakan, strategi dan rencana aksi seperti yang selama ini dituliskan oleh Bappeda Aceh.
 Dari sisi kebijakan misalnya mencari masalah untuk diselesaikan, mencari potensi untuk dikembangkan, menciptakan enabling condition atau kondisi pemungkin, menguatkan kapasitas kelembagaan dan koordinasi serta memastikan satu data dalam satu sistem yang terintegrasi.

Muslahuddin memaparkan, dari sisi strategi, misalnya pengurangan beban masyarakat miskin, meningkatkan pendapatan dan menguatkan kapasitas mereka, menekan biaya transaksi ekonomi serta menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan. Semua strategi ini harus dibuat dengan tepat fokus, lokasi, modus, sasaran, jumlah dan tepat waktu.

Selanjutnya dari sisi rencana aksi dimensi kemiskinan harus dimasukkan, misalnya ketahanan pangan, infrastruktur dasar, ekonomi dan ketenaga kerjaan, pendidikan dan kesehatan. "Seandainya kebijakan, strategi dan rencana aksi ini dijalankan dengan komprehensif, maka sangat realistis kemiskinan Aceh dapat dikurangi secara signifikan," katanya.

Muslahuddin juga menyinggung perkembangan di sektor pertanian, perikanan, kelautan dan peternakan. "Mengapa sektor pertanian, karena hampir 80 persen kontributor untuk angka 750.000 atau 15 persen kemiskinan Aceh berasal dari sektor ini," ungkapnya.

"Data ini dapat dilihat dalam Basis Data Terpadu (BDT), yang dimiliki Bappeda Aceh yang diurai dari desil satu hingga empat. Maka bila mengacu pada strategi perencanaan berbasdi data dan fakta (evidance based planning) yang bermuara pada tepat fokus, lokus, modus, sasaran, jumlah dan waktu, maka pertanian harus menjadi prioritas," uajrnya.

Aceh juga dianggap butuh pusat inkubator usaha pertanian diperlukan, setidaknya ada beberpa kondisi ril yang dihadapi Aceh saat ini. Pertama, pemahaman masyarakat terkait pertanian masih terfokus pada aspek budidaya untuk peningkatan produksi standar, belum pada tahapan produksi yang dapat digolongkan dalam bentuk usaha agro. Hasil yang diperoleh baru 40 persen dari total yang dapat dihasilkan.

Kedua, jumlah uang yang besar, terutama uang yang beredar di masyarakat seperti Dana Desa belum mampu digunanakan secara optimal untuk peningkatan ekonomi, misalnya lewat BUMG untuk usaha di bidang Agro meskipun sebagian besar penduduknya adalah petani. Persentase penggunaan Dana Desa lewat BUMG untuk usaha agro masih sangat kecil.

Ketiga, minimnya pengetahuan tentang pemasaran produk yang diminati oleh pasar, khususnya nilai tambah yang dapat menghasilkan pendapatan secara berganda. Keempat, lemahnya pemahaman pengelolaan kelembagaan terutama yang erat berhubungan dengan kehidupan masyarakat meskin, seperti BUMG, Koperasi, Kelompok Tani dan seterusnya.

Keempat, inkubator usaha dengan mudah dilakukan replikasi kepada penerima manfaat yang berada dalam basis data terpadu, yang merupakan target utama dalam pengentasan kemiskinan. "Dalam upaya mengejar ketertinggalan, sepertinya pemerintah tidak boleh lagi menggunakan ritme reguler proses pembangunan yang belum mampu menurunkan angka kemiskinan dalam waktu yang cepat," jelasnya.

Menurutnya, Pemerintah harus membuat kebijakan tentang dana yang dapat dieksekusi dengan cepat, misalnya CSR, angel investor, croud funding, dan model donasi lainnya. Konsep Quick Win ini akan menemukan mekanisme terbaik yang menjadi role model yang akan digunakan pemerintah untuk mencapai enam tepat seperti yang disebutkan di atas.

"Quick win saya anggap sebagai sebuah proses human invesment (investasi terhadap Sumberdaya Manusia) yang kemudian dapat menjadi pijakan untuk membuat kebijakan pemerintah yang dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama," katanya.

Pemerintah Harus Merobah Pendekatan

Sedikitnya ada 12 SKPA yang selama ini berhubungan dengan pengentasan kemiskinan. Masing-masing SKPA menjalankan Tupoksinya dalam upaya menjadi kontributor pengurangan angka kemiskinan tersebut, namun hasilnya masih menjadi tanda tanya, bahkan Presiden Jokowi pun sudah ikut berkomentar.

"Menurut hemat saya, salah satu problemnya adalah besarnya biaya operasional di kedinasan sehingga porsi yang diterima langsung oleh rakyat menjadi berkurang. Selain itu indahnya phrasa singkronisasi dan harmonisasi dari perencanaan hingga pelaksanaan masih sulit diwujudkan, problema sistemik ego sektoral sepertinya sangat sulit dipecahkan sehingga aspek utilisasi anggaran dan dampak program dipastikan kurang signifikan," ungkapnya.

"Oleh karenanya tawaran saya adalah menyatukan peruntukan dana pengentasan kemiskinan dari 12 SKPA tersebut dalam satu bentuk pengelolaan, apakah namanya PMU, atau Satker Khusus disesuaikan dengan tata kelola keuangan yang menganut prinsip akuntabilitas yang dipayungi Pergub."

Lebih lanjut Muslahuddin memamparkan, dampak dari pembentukan ini dipastikan sangat besar, pertama jumlah dana operasional akan berkurang, kedua target bantuan akan sangat terfokus untuk mengurangi angka kemiskinan, ketiga, ketika program kegiatan membutuhkan sinergi lintas dinas secara otomatis dapat dilaksanakan, keempat, konsep ini akan sangat memudahkan untuk membuat program pengentasan kemiskinan berbasis kawasan.

Kemudian, pengukuran pengurangan jumlah angka BDT akan sangat mudah, terutama 80 kecamatan di Aceh hari ini dalam kategori merah akan dirobah menjadi biru. Kalau ini dapat diwujudkan, maka kemiskinan Aceh akan tersisa 8 persen saja dengan kata kunci political will dan keinginan yang kuat.

"Tentu saja, konsepsi ini membutuhkan banyak pemikiran lanjutan, namun paling tidak ini penting menjadi konsideran ditengah penceklik terobosan pengentasan kemiskinan. Bersama berbagi peran untuk tujuan besar mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh," harap Muslahuddin.

Hendri
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas