IJN - Banda Aceh | Eksportir Aceh, Usuluddin, MBA, Ph.D Can mengungkap alasan mengapa hingga saat ini Aceh masih tertinggal dan sulit bersaing dengan daerah lain, padahal Aceh memiliki hasil alam melimpah yang bahan bakunya dibutuhkan oleh negara lain.
Beberapa barang hasil alam Aceh yang menjadi produk unggulan dan dibutuhkan negara lain, seperti ikan tuna segar, lobster, kopi, pinang, cengkeh, kelapa, bahkan bambu. Seperti yang baru-baru ini diekspor ke Turki oleh Pengusaha Aceh Muhammad Iqbal Jamil.
Menurut Usuluddin, Aceh punya potensi ekspor yang sangat besar, banyak hasil alam Aceh yang diminati dunia internasional, namun sayangnya, selama ini para pengusaha dan eksportir Aceh menggunakan jalur Medan, Sumatera Utara, karena Aceh yang dinilai belum siap melakukan ekspor.
"Kopi Aceh rasanya luar biasa, ada beberapa cita rasa yang membuat dunia internasional tertarik untuk mengimpor kopi dari Aceh, tapi sayangnya, kita masih terkendala dengan berbagai proses administrasi maupun infrastruktur yang belum mendukung," katanya saat wawancara dengan Media INDOJAYANEWS.COM, Sabtu 29 Februari 2020.
Direktur Donya Ekonomi Aceh (dea) itu mengatakan, ada beberapa kendala yang hingga saat ini masih menjadi masalah bagi para pengusaha khususnya yang bergerak di bidang ekspor. Kendala yang dihadapi mulai dari biaya pengiriman barang ke luar negeri via kantor pos Indonesia terlalu tinggi hingga ketersediaan armada pengangkut ekspor.
"Biaya pengiriman terlalu mahal, sehingga produk lokal sulit bersaing. Padahal, beberapa produk IKM di Aceh seperti kopi dan olahan produk lainnya, pangsa pasarnya adalah rumahan dan small coffee shop yang ada di luar negeri," ungkap Usuluddin.
Disamping mahalnya biaya pengiriman barang dari Aceh ke luar negeri, setiap harinya Indonesia khususnya Aceh, selalu dibanjiri oleh produk luar dengan harga bersaing dan biaya pengiriman yang murah.
"Kemudian, kesulitan dalam hal pemodalan, baik bersifat bantuan, atau pinjaman perbankan untuk pengembangan usaha. Perizinan sertifikasi BPOM dan halal yang terlalu lama dan terkesan berbelit-belit serta kriteria persyaratan yang rumit," bebernya.
Ketersediaan armada angkut ekspor baik laut atau pun udara di Aceh yang terbatas menjadi salah satu penghambat dalam pengiriman. Sehingga, pengiriman harus melalui Medan, Sumatera Utara. Akibatnya proses dokumen harus dilakukan melalui Medan, seperti sertifikasi dan karantina.
Baca: Potensi Ekspor Sangat Besar, Aceh Butuh Pesawat Khusus
Kemudahan pengurusan proses clearance dokumen ekspro (karantina, SKA dan PEB) di daerah asal komoditas sehingga tidak ada lagi pengurusan dokumen di luar area Aceh.
"Dari beberapa kendala yang kami temukan, kami berharap agar sudi kiranya Pemerintah dan stakeholder terkait dapat mencari jalan keluar, sehingga upaya Pemerintah untuk menjadikan pelaku UKM IKM 'naik kelas' dan berkembang serta peningkatan perdagangan ekspor menjadi keniscayaan," harapnya.
Usuluddin mengatakan, keluhannya tersebut juga sudah disampaikan kepada Pemerintah Aceh dan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) terkait seperti Disperindag, Bappeda. Ia juga mengaku sudah mengirim surat kepada Biro Perekonomian Setda Aceh, dan DPRA.
"Kita sudah sampaikan semua. Kita berharap Pemerintah Aceh mencari cara bagaimana mengembangkan usaha UMKM bisa berjaya, karena ini juga akan mendongkrak perekonomian Aceh kedepan. Stakeholder terkait juga harus bersinergi, supaya masalah ini lebih mudah diselesaikan bersama," jelasnya.
Bukan itu saja, Pengusaha Muda Aceh ini juga didukung oleh anggota DPR RI asal Aceh Rafli Kande, pimpinan CV Donya Drop Daruet Candra Adi Kurnia, Direktur PT Bawadi Kopi Indonesia Teuku Dharul Bawadi, Pimpinan UD Nagata Tuna Muslim, dan Pimpinan PT Tata Niaga Lestari Iqbal Jamil.
Penulis: Hidayat. S