IJN - Jakarta | Serikat Perusahaan Pers (SPS) kembali gagal beraudiensi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam mendiskusikan isu bebas pajak untuk pengetahuan (No Tax For Knowledge).
"'No tax for knowledge pada hakikatnya merupakan sebuah perjuangan para penerbit media cetak guna mendapatkan keringanan terhadap pajak pembelian kertas dan penjualan produknya," kata Sekjen SPS melalui keterangan resmi yang diterima media ini, Selasa 13 Agustus 2019.
Sekretaris Jenderal SPS Pusat, Asmono Wikan mengatakan, pengurus sejak 9 Juli 2019 telah berkorespondensi dengan Menkeu untuk mencari waktu audiensi soal no tax for knowledge. Upaya ini merupakan tindak lanjut dari saran Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat beraudiensi dengan pengurus SPS pada 18 Maret 2019 lalu.
Sebelumnya, pengurus SPS Pusat pernah bertemu dengan Sri Mulyani pada tahun 2008, ketika menjabat Menkeu di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Menkeu menolak usulan no tax for knowledge dari SPS. Asosiasi mendesak Menkeu menghapus pajak kertas untuk koran.
Permintaan audiensi SPS sebelumnya kembali ditolak oleh Menkeu. Melalui surat tertanggal 7 Agustus 2019, Sri Mulyani merespons negatif permohonan pengurus SPS Pusat untuk mendiskusikan isu no tax for knowledge.
"Kami dengan menyesal belum bisa memenuhi permohonan pengurus SPS Pusat untuk bertemu Menteri Keuangan," bunyi kutipan surat yang ditandatangani Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu.
Asmono menilai, isu yang sama telah dinikmati oleh para penerbit buku di Tanah Air. Mereka telah memperoleh insentif atas pajak penjualan buku.
Sebagai satu-satunya asosiasi penerbit pers cetak di Indonesia yang beranggotakan 450 penerbit, Asmono yakin pemberian insentif atas pembelian kertas koran dan penjualan media cetak, tidak akan membuat pundi-pundi keuangan negara tergerus.
"Justru melalui insentif tersebut, akan mengundang minat baca masyarakat semakin tinggi terhadap media cetak," ujar dia.
Asmono menilai, budaya membaca yang kuat akan berkontribusi terhadap pencerdasan bangsa. Ada sisi "intangible advantage" yang luput dari perhitungan Menkeu jika menolak kampanye No Tax for Knowledge penerbit media cetak," ungkap
Sebagai bagian dari media arus utama, kontribusi penerbit pers cetak terhadap informasi yang utuh juga sangat kuat. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengakui peran penting pers cetak dalam mendukung kampanye besar anti hoaks.
"Patut disayangkan jika Menkeu terlalu dini menutup pintu dialog dengan SPS Pusat ikhwal No Tax for Knowledge. Padahal ikhtiar pers cetak dalam ikut meliterasi dan mengkonsolidasi keutuhan bangsa selama ini tak terhitung lagi banyaknya," ujar Asmono.
Di negara maju yang tingkat literasinya tinggi, seperti Norwegia, Jerman, Denmark, Swedia, bahkan India, insentif atas kertas koran diberlakukan. Tak heran jika peran pers cetak di negara-negara tersebut masih sangat kuat dalam ikut mendidik masyarakat.
"Pada akhirnya, ini soal keberpihakan. Barangkali Menkeu tidak melihat pentingnya memberi keberpihakan pada industri yang tiap tahun menyumbang pajak ke Negara puluhan bahkan mungkin ratusan milyar. Itulah industri pers cetak di tanah air," pungkasnya. (Nasrun)