Paradigma berfikir ilmiah dan komprehensif niscaya mampu melahirkan penilaian objektif dengan cara pandang yang universal, dan sikap inilah seharusnya disandang oleh manusia berpendidikan yang digelar "akademisi".
Tentu, akademisi jauh berbeda dari lainnya, karena latar belakang akademik dan sikap manusia terdidik lebih cenderung merekat dalam tubuh manusia satu ini. Sikap akademis, pada realitasnya sering dipraktikkan dalam dunia kampus dan pendidikan, antara dosen dan mahasiswa misalnya.
Menurut William W.Brickman, kebebasan akademik adalah hak seorang dosen untuk mengajar, serta hak seorang mahasiswa untuk belajar tanpa adanya pembatasan dan pencampuran dengan hal-hal yang tidak rasional.
Namun pada praktikknya, namanya dunia tentu banyak dinamika, tapi berbeda dinamika yang diciptakan di salah satu perguruan tinggi di Aceh.
Di salah satu kampus, bernama Universitas Malikussaleh, masih ada kaum yang mengaku akademis malah menyelewengi rasionalitasnya sendiri, mematahkan logika, ciptakan sebuah falasi.
Dalam artikelnya yang berjudul "Gerakan BEM ke Arah Lebih Rasional" yang di terbitkan di media kampus news.unimal.ac.id pada 23 April 2020 ini, seorang dosen yang mengaku dosen Hukum Internasional FH Universitas Malikussaleh dan Kepala Bidang Protokoler UPT Kehumasan dan Kerjasama Eksternal nyaris menyudutkan mahasiswa dalam opininya tersebut.
Seharusnya, sang dosen apalagi kabid protokoler yang selalu di samping rektor harusnya mencerminkan sikap akademis dan elitenya, bukannya malah masuk dan mencampuri zona mahasiswa dalam bergerak.
Salah satu paragraf yang sangat janggal dalam opini tersebut contohnya; "BEM sebagai organisasi kemahasiswaan janganlah sekedar diposisikan sebagai media kritis belaka yang hanya bisa mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa serta protes terhadap ketimpangan kondisi sosial masyarakat."
Hal ini justru sangat absurd, dan sesat. Seorang akademisi yang harusnya memberikan solusi, bukannya malah mencekal gerak mahasiswa bersama perjuangannya lewat opini absurd dan falacy sedemikian rupa.
Karena, mahasiswa berfungsi sebagai penyambung lidah masyarakat, dengan fungsinya agen of change, sosial of control, dan lainnyanya. Jadi sangatlah sesat, seorang akademis mencekal kritisisme mahasiswa, karena sikap kritis itu tak ubahnya DNA dari mahasiswa itu sendiri.
Saya, yang merupakan Ketua Bem Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh merasa sedikit aneh, opini yang dibangun sang akademis ini justru mengamputasi rasionalitas nya sendiri, dan ada perspektif timbul, karena ingin eksistensi dan dipandang bijaksana oleh atasan, tapi dengan cara yang non etis, yang mempertontonkan ketidak pahamannya sendiri.
Nyaris memalukan, sejak kapan Kabid protokoler itu mencampuri urusan Organisasi intra kampus? Aneh bukan? Bahkan sangat janggal.
Hari ini, justru kekacauan semakin bertambah, entah apa alasan sang pimpinan dan orang pertama di Universitas (Rektor) masih mempertahankan kabid protokoler dengan segala ketidakjelasannya itu, yang menggelitik dan merisihkan para kaum aktivis kampus bahkan sebagian mahasiswa.
Absurditas atau keanehan yang dilakukan oleh kabid protokoler satu itu harus segera di atasi. Sebagaimana, Camus yang cenderung menjadikan tindakan bunuh diri sebagai solusi mengatasi absurditas kehidupan, bagi Sartre salah satu pilihan moderat (baca: aman) yang dapat diambil guna mengatasi absurditas kehidupan adalah dengan melakukan penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang. (Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, p. 566. Halaman 464).
Dan Rektor pun harus demikian, mempertimbangkan kabid protokoler satu itu demi menghilangkan sebuah absurditas dalam perguruan tinggi, yang katanya sebagai kaum dan laboratorium intelektual, agar Rektor tak sia-sia, dan harus melihat jelas kabid protokoler si tukang pengamputasi Rasionalitas nya sendiri.
Oleh : Muhammad Fadli
(Ketua BEM FH Unimal)