09 Januari 2019 | Dilihat: 467 Kali
Antara Debat Capres Atau Lomba Hafalan !!
noeh21
Foto : wow.tribunnews.com
 

Penulis Oleh : Muammar
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
 
IJN | Debat calon president dan calon wakil presiden hanya tinggal sekitar dua pecan lagi, capres dan cawapres akan diadu kemampuan berargumen, diadu visi, program dan gagasan diatas panggung dan disiarkan langsung televise nasional.

Debat calon presiden 2019 sepertinya tidak akan setegang dan seseru debat 2014, selain tidak ada paparan visi misi oleh calon president dan wakil president, daftar pertanyaan debat juga akan dibocorkan terlebih dahulu.

Mengusung tema hukum,HAM, Korupsi dan Terorisme, debat ronde pertama akan diselenggarakan pada tanggal 17 Januari 2019, lima orang yang menjadi panelis pada debat ronde pertama adalah Hikmahanto Juwana, Bagir Manan. Ahmad Taufan Damanik, Bivitri Susanti dan Margarito yang dimoderatori oleh Ira Koesno dan Imam Priyono.

Lima panelis ini akan memberikan pertanyaan kepada calon presiden dan calon wakil presiden terkait dengan tema yang diangkat, sampai dengan ini tidak ada perbedaan dengan debat peda pemilihan presiden sebelumnya, yang berbeda di debat kali ini adalah para kandidat  akan mendapat bocoran pertanyaan dari panelis sebelum tampil.

Bocoran pertanyaan diberikan seminggu sebelum debat dilangsungkan, caranya setiap panelis akan menyusun 20  (dua puluh) daftar pertanyaan, daftar pertanyaan itu akan diserahkan ke tim kampanye untuk disampaikan ke calon presiden dan calon wakil presiden masing-masing.

Terkait dengan kebijakan yang menuai polemic tersebut, ada beberapa alasan mendasar yang menjadi pertimbangan KPU. Pertama, hal tersebut dilakukan agar calon presiden dan calon wakil presiden dan menjawab pertanyaan dengan detail dan para kandidat mempersiapkan data dan segala macamnya. Kedua, debat yang merupakan salah satu metode kampanye dapat dipergunakan dengan baik oleh para kandidat dengan cara mempersiapkan apa yang ingin disampaikan ke public dan ketiga, KPU ingin ntidak ada calon presiden yang di permalukan, karena apabila pertanyaan diberikan spontan saat debat berlangsung ada kemungkinan ada paslon diserang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan.

Perbedaan selanjutnya yang membedakan debat capres 2019 dengan 2014 adalah pada visi misi, pada pilpres 2019 KPU mentiadakan pemaparan dan sosialisasi visi misi, kebijakan tersebut di ambil karena KPU beranggapan ini adalah jalan tengah karena kedua kubu tetap dengan berpendirian dengan keinginan masing-masing.

Kubu 01 ingin pemeparan visi misi disampaikan tim sukses, sementara kubu 02 menginginkan visi misi disampaikan langsung oleh para kandidat tidak diwakilkan.Terkait dengan kebijakan tersebut KPU menuai banyak kritikan dari masyarakat, namun tidak sedikit pula yang mendukung KPU atas kebijakan tersebut. 

Kalangan yang mengkritik menilai  keputusan KPU tersebut aneh bin ajaib, mau berdebat mengapa harus pertanyaan disampai terlebih dahulu? Padahal dalam debat, bukan hanya visi misi yang ingin public tau, akan tetapi public juga ingin melihat pemahaman dan kepekaan para kandidat terhadap suatu persoalan tanpa harus mempelajarinya karena persoalan di masyarakat selalu timbul secara tiba-tiba jadi pemimpin harus dapat merespon secara spontan, bukan terkesan menghafal.

Kalangan yang mendukung kebijakan KPU, menilai formay debat calon presiden dan calon wakil presiden dengan menggunakan pertanyaan terbuka dapat memberikan jawaban yang konkret atas pertanyaan panelis, bukan jawaban yang bersifat normative. Ini juga menjadi upaya melengkapi visi misi yang sifatnya normative menjadi praktis dan konkret.

Kebijakan KPU ini sangat wajar menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, mengingat pada pilpres 2014 yang lalu pertanyaan tidak disusun panelis, panelis hanya bertugas menyusun isu-isu strategis dari tema yang diangkat. Mederatorlah yang bertugas memformulasikan pertayaan kepada capres dan cawapres. Sehingga masyarakat belum siap dengan mekanisme baru yang di terapkan KPU sehingga sangat wajar menuai kontroversi. KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu juga harus peka terhadap suara ditengah masyarakat, karena akibat dari beberapak kebijakan yang diambil tersebut, nilai kepercayaan public terhadapnya menurun. 

Pada tahun 2017 berdasarkan survey SMRC kepercayaan public terhadap lembaga penyelenggara pemilu ini mencapai angka 80 persen, namun pada Desember 2018 merejuk pada survey LSI dan ICW angka kepercayaan public tercatat menurun, yaiu pada angka 69 persen.

KPU harus menjadikan hasil survey tersebut sebagai pedoma untuk memperbaiki kepercayaan public,karena apabila tingkat kepercayaan pubik terus menurun di khawatirkan potensi terjadinya konflik ditengah masyarakat, baik antara penyelenggara pemilu maupun para kontestan semakin besar.
Kantor Media Indojayanews.com
Klik Di Sini
Jl. Cendana Utama, lr.Jampeitam I
Kecamatan Syiah Kuala.
Kota Banda Aceh
Provinsi Aceh
Email : redaksiindojaya@gmail.com


Redaksi menerima kiriman opini. Panjang opini 500 – 600 kata dan dikirim ke: redaksiindojaya@gmail.com