28 Mei 2019 | Dilihat: 688 Kali
Senator Aceh: Referendum itu Hak Konstitusional setiap Warga Negara
Senator Aceh, Fachrul Razi, MIP. Foto; Dok IJN
IJN - Banda Aceh | Senator DPD RI Asal Aceh yang juga pimpinan Komite I DPD RI memberikan perhatian serius jika Aceh dilakukan Referendum secara resmi di Aceh. Dirinya mengatakan bahwa Referendum adalah mekanisme demokrasi dalam memberikan hak politik rakyat dalam menentukan masa depannya.
Menurutnya, Referendum adalah solusi damai untuk Aceh dan hak konstitusional setiap warga negara. Referendum dapat diartikan penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum.
Biasanya menurut Fachrul Razi, Referendum digunakan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung tentang hal-hal fundamental yang menyangkut nasib dan masa depan rakyat sendiri.
“Mengapa saya berbicara Referendum? Karena saya wakil Aceh di Pusat. Jika Rakyat Aceh menginginkan referendum, sebagai wakil Aceh sangat wajar saya memperjuangkan itu,” tegas Fachrul Razi.
Wacana ini dinyatakan oleh Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, yang mengeluarkan pendapat Agar ke depan Aceh minta referendum. karena menurut Mualem, negara kita di Indonesia sudah tidak jelas soal keadilan dan demokrasi.
Indonesia diambang kehancuran dari sisi apa saja. Pendapat dan keinginan itu disampaikan Mualem dalam sambutannya pada peringatan Kesembilan Tahun (‪3 Juni 2010-3 Juni 2019‬), wafatnya Wali Neugara Aceh. Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin 27 Mei 2019 malam.
Fachrul Razi menjelaskan bahwa penyataan Mualem bukanlah pernyataan biasa, dan ini serius dan memiliki arti penting. “Ini yang berbicara Mualem, jadi ini bukan wacana lagi tapi satu sikap politik yang tegas untuk menjawab quo vadis Aceh kedepan menghadapi Indonesia yang terus menuju pada kehancuran dan kegagalan dalam berdemokrasi,,” tegas Fachrul Razi.
Gerakan masif ini akan terjadi jika keadaan demokrasi Indonesia terus mengalami kemunduran dengan kebijakan rezim pemerintah yang terus mempertontonkan ke publik kekerasan dan kebijakan yang tidak demokrasi.
Disisi lain, Fachrul Razi mengatakan bahwa kuatnya negara indonesia dengan adanya keadilan dan kesejahteraan rakyat nya dan ini tujuan dari konstitusi Indonesia namun kenyataannya, keadilan dan kesejateraan adalah jauh dari harapan yang dirasakan oleh rakyatnya.
Menurut Fachrul Razi, Aceh pasca damai telah mengikuti alur demokrasi yang diciptakan oleh pusat, namun dalam proses perjalanannya, demokrasi ala pusat tidak memberikan kontribusi apapun terhadap perubahan politik di Aceh.
Praktek yang dijalankan lebih mengarahkan pada demokrasi semu (psedo democracy). Demikian juga dengan keadilan, Menurut Fachrul Razi, Pusat memberikan solusi Otsus dan perlakukan khusus untuk Aceh, tapi prakteknya keadilan tidak dirasakan oleh Aceh.
“Aceh terus menerus tertipu dengan kebijakan pusat yang sangat melemahkan kekhususan Aceh, ini keadilan semu (psedo justice),” ungkapnya.
“Saya berpikir keadaan demokrasi dan keadilan menjadi hal yang sulit di dapatkan oleh Aceh saat ini. Ini merupakan prasyarat referendum dapat dilakukan di Aceh,” tutup Fachrul Razi.
Menurut Fachrul Razi, Referendum dalam sistem demokrasi bukanlah hal yang tabu, kecuali sistem otoriter yang menentang referendum. Di beberapa negara demokrasi juga memiliki pengalaman melaksanakan referendum secara damai tanpa berdarah-darah dan tanpa kekerasan, antara lain Sudan Selatan, Krimea, Quebec, dan Skotlandia, sementara Timor Leste juga sukses melaksanakan referendum meskipun sempat mengalami kekerasan.
Kasus referendum di Quebec Canada, yang dipakai ketika muncul keinginan penduduk Quebec untuk memisahkan diri dari Canada, atau referendum di Chile tahun 1988 ketika rakyat diminta pendapatnya apakah Jenderal Pinochet masih dikehendaki untuk memimpin atau harus turun.
Penulis : Redaksi