Banda Aceh | IJN - Setelah berlakunya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ada beberapa urusan dan kewenangan yang beralih, baik dari Kabupaten/Kota ke Provinsi maupun sebaliknya. Salah satunya yaitu pada bidang pertambangan, yang semula berada pada Pemerintah Kabupaten/Kota sekarang menjadi urusan dan kewenangan Pemerintah Provinsi.
Hal tersebut menjadi perhatian Ombudsman RI perwakilan Aceh, sehingga melakukan Kajian Sistemik. Kajian ini dimaksudkan untuk menemukan alternatif solusi terkait peralihan kewenangan dan urusan pertambangan.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Dr. Taqwaddin mengatakan, sektor pertambangan menjadi salah satu fokus karena banyak laporan dugaan maladministrasi yang masuk ke kantornya, baik pada urusan perizinan maupun pengawasan. Hal itu diungkapnya saat membuka kegiatan FGD Transisi Perizinan dan Pengawasan Tambang Pasca berlakunya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah di Hotel The Padee, Aceh Besar, Selasa (14/08/2018).
Pada kegiatan tersebut turut diundang para pejabat dari Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, Dinas Enegi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan(DLHK) Aceh, Polda Aceh, serta perwakilan dari DPMPTSP, DLH Kabupaten Pidie, Aceh Jaya, dan Nagan Raya. Di pihak non Pemerintah hadir perwakilan Walhi dan GeRak Aceh serta perwakilan pengusaha tambang.
Ayu Parmawati Putri, MKN, Asisten Ombudsman Aceh yang merupakan salah seorang anggota tim kajian, dalam materinya menyampaikan beberapa temuan yang didapatkan timnya saat turun ke lapangan, salah satunya yaitu proses perizinan yang masih melibatkan pihak Kabupaten/Kota untuk rekomendasi karena adanya Surat Edaran (SE) Gubernur Aceh dan lemahnya pengawasan selama ini.
Hal tersebut diakui Destin, selaku Kepala Bidang Perizinan pada DPMPTSP Aceh Jaya yang turut hadir pada kegiatan tersebut. "Kami di daerah jadi serba salah sekarang. Secara Undang-Undang, pertambangan bukan lagi menjadi urusan dan kewenangan kami, tetapi disisi lain ada SE (Surat Edaran) Gubernur Aceh yang melibatkan kami kembali," ujar Destin.
Pada kegiatan FGD tersebut, perwakilan dari Direskrimsus Polda Aceh AKP Adhitya Pratama, juga menyeroti lemahnya pengawasan. "Kedepan kita berharap pengawasan lebih ditingkatkan, supaya kegiatan pertambangan berjalan dengan baik dan meminimalisir efek negatif dari kegiatan tersebut," kata Adhitya.
Sementara dari Dinas ESDM Aceh yang diwakili Chairil menyebutkan, bahwa mereka hanya menjalankan amanah Undang-Undang saja, karena secara peraturan, pertambangan menjadi kewenangan dan urusan Provinsi.
Di akhir sesi kegiatan FGD tersebut, Dr Taqwaddin yang memimpin acara mengatakan, Tim Kajian Ombudsman akan mendalami lagi SE Gubernur Aceh No 120 Tahun 2016 tentang proses perizinan serta pengawasan pertambangan. "Saran dan masukan dari peserta sangat kami butuhkan guna melengkapi kajian yang sedang kami lakukan," pungkas Taqwaddin.