IJN - Banda Aceh | Pencabutan 98 Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan Operasi Produksi (OP) mineral logam dan batubara secara kolektif oleh Gubernur Aceh dinilai telah menyelamatkan ratusan ribu hektare hutan dan lahan di Aceh.
Kediv Kebijakan Publik dan Anggaran GeRAK Aceh, Fernan menyampaikan, berdasarkan perhitungan GeRAK, luas lahan dari total 98 IUP yang dicabut atau diakhiri melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh Nomor 540/1436/2018 itu mencapai 549.619 hektare (Ha).
"Artinya seluas 549 Ha lebih hutan dan lahan di Aceh terselamatkan dengan SK Gubernur Aceh tersebut."
Hal itu disampaikan Fernan disela-sela Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan GeRAK Aceh bekerja sama dengan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, tentang tata kelola dan pemanfaatan lahan bekas tambang di Aceh
pasca pengakhiran 98 IUP, Kamis 28 Maret 2019.
Fernan merincikan, total luasan lahan 549.619 Ha tersebut terbagi dari Kabupaten Aceh Besar 4.656 Ha (4 IUP), Aceh Jaya 31.368 Ha (10 IUP), Aceh Barat 20.329 Ha (7 IUP), Nagan Raya 90.576 Ha (1 IUP), Abdya 298 Ha (2 IUP), Aceh Selatan 59.826 Ha (14 IUP), Aceh Singkil 46,313 Ha (6 IUP).
Selanjutnya, Subulussalam 6.227 Ha (8 IUP), Gayo Lues 41.200 Ha (2 IUP), Aceh Tamiang 33.559 Ha (4 IUP), Aceh Tengah 92.425 Ha (13 IUP), Aceh Timur 6.080 Ha (2 IUP), Pidie Jaya 2.555 Ha (2 IUP).
"Terakhir yang paling tinggi dari Kabupaten Pidie, yaitu seluas 114.205 Ha dengan sebaran 14 IUP," sebutnya.
Selain itu, Fernan juga menuturkan terkait perkembangan tata kelola IUP mineral logam dan batubara di Aceh. Kata dia, berdasarkan data dari Dinas ESDM Aceh. Pada 2014 lalu, izin di Aceh mencapai 138 IUP dengan luas areal lebih kurang 841.649 Ha.
Kemudian, setelah berlakunya moratorium pertambangan hingga 2019, izin yang tersisa hanya tinggal 28 IUP dengan luas areal lebih kurang 48.136 Ha, atau berkurang seluas 793.513 Ha, (94,28 %).
"Dari sisa 48,136 Ha itu terbagi lagi, 2 persen masuk Hutan Produksi (HP) dan 98 persen masuk Areal Penggunaan Lain (APL)," ujarnya.
Kata Fernan, untuk sebaran perizinan pertambangan mineral dan batubara di Aceh hingga Maret 2019 dari 28 IUP tersebut, terbagi dalam beberapa izin antara lain Batubara 9 IUP, Biji Besi 14 IUP, Pasir Besi 2 IUP, Penanaman Modal Asing (PMA) 2 IUP dan Kontrak Karya 1 IUP.
"Dan untuk luas bukaan tambang mineral logam dan batubara aktif sampai Maret 2019 dari luas 48.136 Ha itu, yang telah dibuka baru hanya seluas 195 Ha atau 0,41 persen," tuturnya.
Dalam FGD ini, lanjut Fernan, mereka juga merekomendasikan agar Pemerintah Aceh mempertegas pemanfaatan lahan IUP berakhir itu guna untuk validasi data spasial lahan tersebut dengan melakukan kajian pemanfaatan mengenai skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Hutan Kemasyarakatan (HKM), hutan adat dan sebagainya. Namun, untuk memaksimal kerja pemerintah, maka dinilai juga perlu membentuk tim terkait persoalan ini.
"Lalu, kepada Kanwil BPN dapat melakukan pengkajian kembali terhadap lahan IUP berakhir terhadap status hak atas tanah dari lahan bekas tambang itu, dan memastikan potensi konflik di kawasan budidaya saat pemanfaatannya," tandasnya.
Sementara itu, Peneliti di PWYP, Rizky Ananda menyarankan kepada Pemerintah Aceh agar dapat memanfaatkan lahan seluas 549 ribu lebih itu menjadi tempat terbuka hijau, ataupun dijadikan kembali sebagai lokasi pertambangan.
Bahkan, menurut Rizky, kesempatan ini juga bisa menjadi momentum untuk menyelaraskan pertambangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA).
"Maupun bisa juga dilakukan pengembalian fungsi lahan, kembalikan ke asal mulanya menjadi hutan lagi," imbuhnya.
Tetapi sebaiknya, Rizky menyarankan Pemerintah Aceh membuat kajian mendalam terlebih dahulu sebelum mengarahkan lahan tersebut, jangan sampai terburu-buru ingin menjadikan lokasi pertambangan kembali.
"Meskipun ada keinginan dari investor, tapi jangan sampai Pemerintah Aceh tertekan karena investor, kemudian langsung membuka lagi pertambangannya," tutup Rizky.