IJN - Banda Aceh | Tepat pada 15 Agustus mendatang, umur perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia memasuki 15 tahun. Perang telah usai, kesepakatan damai telah terjalin namun luka yang dalam masih terkenang di mata Masyarakat.
Dalam menyambut refleksi 15 tahun perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia, Aliansi Mahasiswa Aceh yang tergabung dari Universitas Malikussaleh, Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Universitas Al- Muslim, dan Universitas Teuku Umar, lakukan audiensi dengan Pimpinan DPR Aceh pada Kamis 23 Juli lalu.
Aliansi mahasiswa Aceh mengancam akan gelar aksi demo besar-besaran di gedung DPR Aceh jika pada 15 Agustus mendatang tidak ada perkembangan soal petisi yang diajukan ke DPRA pada Kamis 23 Juli lalu.
Juru Bicara (Jubir) Aliansi Mahasiswa Aceh, Muhammad Fadli kepada Media INDOJAYANEWS.COM, Jumat 24 Juli 2020 mengatakan, pada 15 Agustus 2020 mendatang akan memasuki 15 tahun perdamaian antara RI dengan GAM.
"Namun hingga saat ini, Aceh masih terpuruk dalam berbagai bidang, baik segi pendidikan, pembangunan infrastruktur, penurunan angka kemiskinan dan lain sebagainya,"kata Muhammad Fadli.
Muhammad Fadli membeberkan, Aliansi Mahasiswa Aceh akan gelar aksi besar besaran jika setelah 15 Agustus 2020 mendatang tidak ada perkembangan apapun atas petisi yang diajukan oleh Aliansi Mahasiswa Aceh kepada DPR Aceh pada Kamis lalu.
Fadli sangat menyayangkan sikap Pemerintah Aceh yang selama ini dinilai hanya sibuk dengan kegiatan simbolis yang tidak mempunyai arti besar untuk kemajuan Aceh. Padahal, anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Aceh sangat berlimpah.
Baik melalui APBD maupun dana alokasi khusus untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, maupun untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat tanah rencong, yang puluhan tahun lalu terimbas konflik bersenjata. Bahkan menurut perhitungan Muhammad Fadli, Aceh sudah menghabiskan 70 triliun lebih sejak 2008 silam.
“Sejak tahun 2008 sampai dengan 2019 atau sampai dengan tahun ke-13, Pemerintah Aceh telah menerima kucuran dana Otsus sebesar Rp. 73 Triliun, diperkirakan keseluruhan dana Otsus Aceh sampai dengan tahun 2027 jika ditotal akan mencapai 163 triliun,” ujar Fadli, Jubir aliansi mahasiswa Aceh.
Menyambut momentum refleksi 15 tahun Perdamaian Aceh pada 15 Agustus 2020 mendatang, Aliansi Mahasiswa Aceh meminta para pemangku jabatan di Aceh baik Eksekutif ataupun Legislatif tidak hanya membahas isu-isu populis sekedar untuk pencitraan semata.
Sebab, kata Fadli, kenyataannya akses dana Otsus Aceh sudah di ujung tahun ke-13, tapi pembangunan infrastruktur di Aceh tidak begitu terlihat, pembangunan ekonomi rakyat juga tidak meningkat dengan baik, bahkan angka kemiskinan Aceh berada pada tingkat ke-6 secara nasional dan berada pada peringkat ke-1 di Sumatera.
Padahal, angka kemiskinan di Aceh diharapkan bisa selesai dengan penambahan jumlah investasi. “Sampai dengan tahun 2019 dalam bidang Sumber Daya Alam (SDA) saja setidaknya di Aceh terdapat 450 izin pertambangan, 146 Hak Guna Usaha (HGU) dalam bidang perkebunan, dan 39 Pabrik Kelapa Sawit (PKS),”jelas Fadli.
Fadli mengungkapkan, walau angka investasi di Aceh dalam berbagai sektor semakin meningkat dari tahun ke tahun, kenyataannya Pemerintah Aceh belum mampu menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Tidak hanya kemampuan mengurangi angka kemiskinan, bahkan investasi di Aceh menjadi penyumbang konflik sosial dan pelaku perampasan lahan (konflik tanah).
Selain itu, lanjutnya, nasib pendidikan Aceh secara nasional juga masih berada pada peringkat ke-27 dari 34 provinsi se-Indonesia. Angka masyarakat yang tinggal di rumah rumah tidak layak huni juga masih tergolong banyak di Aceh.
“Begitu juga dengan pelayanan kesehatan, akses masyarakat terhadap hak atas pelayanan kesehatan masih tergolong belum begitu membanggakan. Masih ada orang Aceh yang meninggal akibat fasilitas kesehatan yang tidak memadai, atau akibat perilaku tenaga medis yang tidak pernah dievaluasi (dugaan malpraktek),”ungkap Fadli.
Jubir Aliansi Mahasiswa Aceh ini mengingatkan, pemenuhan dan pertanggungjawaban Aceh terhadap korban pelanggaran HAM masa konflik yang terjadi selama 30 tahun, juga belum ada keseriusan. “Setidaknya dari berbagai sumber menyebutkan, bahwa ada 40.000 hingga 50.000 jiwa korban pelanggaran Hak Asasi Manusia akibat konflik bersenjata di Aceh,”sebutnya.
Tapi, sampai saat ini masih sangat minim dukungan Pemerintah untuk KKR Aceh, baik secara penganggaran maupun secara kelembagaan dan tindaklanjut terhadap rekomendasi KKR Aceh.
Padahal, sambung Fadli, KKR Aceh telah mengambil lebih dari 3.040 pernyataan, dan telah menyampaikan 240 orang korban konflik untuk kategori pemulihan mendesak.
“Dan sampai saat ini belum ada tindak lanjut selain menerbitkan SK reparasi, sedangkan pelaksanaannya belum terlaksana,”ujarnya.
Di sisi lain, Aceh yang dikenal sebagai daerah yang menerapkan hukum Syariat Islam, kenyataannya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Untuk tahun 2020 sampai dengan saat ini, setidaknya sudah ada 33 anak yang telah menjadi korban pemerkosaan dan 90 anak lainnya mengalami pelecehan.
“Pemerintah Aceh harus memikirkan solusi untuk ini, setidaknya melakukan evaluasi kelembagaan yang membidangi perempuan dan anak serta mengevaluasi regulasi yang tersedia, agar pelaku tidak dihukum ringan,”tegas Fadli.
Sebelumnya, Aliansi Mahasiswa Aceh telah memberikan petisi berisi sejumlah poin kepada DPRA untuk ditindaklanjuti, diantaranya; Mengevaluasi ulang rencana investasi, pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi masyarakat Aceh untuk mendorong pengurangan angka kemiskinan di Aceh.
Kemudian, Mengevaluasi lembaga penyelenggaraan perlindungan Perempuan dan Anak, serta memperbaiki regulasi yang memberikan keadilan bagi perempuan dan anak.
“Apabila tidak ada perkembangan dan masih stagnan, maka kami akan melakukan langkah advokasi secara represif dengan melakukan aksi demonstrasi. Karena langkah advokasi secara preventif telah kami lakukan,” demikian tutup Muhammad Fadli Jubir Aliansi Mahasiswa Aceh dengan tegas.
Penulis: Hendria Irawan