IJN | Yordania - Dukungan mengusut tuntas meninggalnya wartawan M. Yusuf di tahanan Polres Kota Baru, Kalimantan Selatan, I0 Juni lalu, terus mengalir dari pelbagai pihak, baik senator Fachrul Razi dan politisi Senayan lainnya, pengacara beken Eggi Sudjana, hingga mantan Menkopolhukam, Laksamana TNI (Pur) Tejo Edhi.
Kali ini "terompet" pengusutannya ditiup oleh mantan Aspam Kasad serta Dan Puspom TNI, Mayor Jenderal TNI (Pur) Drs H Hendardji Soepandji SH yang saat ini sedang berada di Yordania.
"Kasus kematian M. Yusuf, hukum harus ditegakan, kendati langit bakal runtuh," tandas Hendardji yang juga Ketum Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) kepada IJN, Rabu 11 Juli 2018.
Ia juga menggulirkan pertanyaan, kenapa Dewan Pers tidak marah, tidak meminta pertanggungjawaban polisi atas tewasnya wartawan yang mereka rekomendasikan menggunakan hukum di luar pers. "Saya heran juga," jelas Pak Hen, begitu sapaan akrabnya di kalangan pengurus IPJI.
Dia menilai, kematian M. Yusuf di tahanan merupakan pelanggaran HAM berat, tidak bisa ditolerir. Lebih-lebih, kasus yang ditulis menyangkut kepentingan warga yang merasa haknya dirampas oleh sebuah perusahaan.
Menurut dia, meskipun almarhum "bersalah" secara Kode Etik Jurnalistik di mata Dewan Pers, namun informasi yang disampaikan adanya persoalan perusahaan tersebut dengan para warga, harus juga ditelisik, diusut tuntas sampai ke akar-akarnya.
"Tapi, dengan kematian beliau, maka fakta- fakta adanya perseteruan warga dengan perusahaan tersebut tidak terungkap," jelasnya, yang mungkin mendiang wartawan punya data yang valid, sehingga berani menulisnya, kendati cara menulisnya salah secara etika jurnalistik.
Mantan Ketum PB Forki ini menambahkan, kasus wartawan MY seyogianya ditangani secara fair play. Jangan sampai hanya kesalahan etika jurnalistik, mengaburkan fakta-fakta yang disampaikan oleh wartawan dalam melakukan fungsinya sebagai kontrol sosial.
"Kasus perusahaan tersebut dengan warga juga harus ditelusuri sejauh mana kebenarannya," ulang Hendardji, mengharapkan polisi menggali informasi yang disampaikan mendiang wartawan.
Hendardji juga mengaku heran inisiatif mengusut tuntas kasus M. Yusuf justru datang dari organisasi pers, seperti dilakukan aksi 4/7. Sementara Dewan Pers adem ayem, tidak ngotot memperkarakan kematian wartawan yang mereka rekomendasikan lewat pendekatan hukum di luar pers.
"Harusnya mereka juga meminta pertanggungjawaban polisi, kok wartawan sampai tewas," tuturnya. Sebab, menurutnya, Dewan Pers sebagai bagian dari insitusi pers, jangan hanya melihat hitam putihnya etika jurnalistik, seperti uji informasi, tidak berimbang, tendesius dan sebagainya.
"Tapi, lihat juga fakta keseluruhan. Wartawan gila bila menulis berita tanpa fakta. Itu elemen dasar yang diketahui semua wartawan," tuturnya gemas.
Dia berharap, kasus M. Yusuf jadi pelajaran semua pihak, baik Dewan Pers, Polisi maupun wartawan. " Dan hukum harus ditegakan kendati langit pun bakal runtuh," jelas Ketua Dewan Pembina Ikatan Penulis Jurnalis Indonesia (IPJI) ini berharap jika ada oknum yang bermain atau mengambil keuntungan dari kasus ini harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
"Pengusutan harus dimulai dari TKP untuk mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang cukup. Termasuk visum untuk mengetahui sebab-sebab kematian", pungkas adik kandung mantan Jakgung Hendarman Soepandji mengakhiri. (Rel)