IJN - Banda Aceh | Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) meminta kepada masyarakat Aceh tidak latah menanggapi beredarnya video mesum anak di bawah umur. Hal itu disampaikan Sekjen YARA Fakhrurrazi SH, Selasa 26 Februari 2019.
"Kita minta masyarakat jangan sampai latah menyebarkan video tersebut, apalagi pelaku adalah anak di bawah umur. Anak anak itu tanggung jawab kita semua selaku masyarakat Aceh, harus kita lindungi hak hak mereka sebagai anak," ujar Fakhrurrazi.
Pengacara muda tersebut mengaku menyesalkan tindakan yang dilakukan perekam dan penyebar video berkonten pornografi tersebut karena telah mencoreng nama Aceh. "Seharusnya perekam itu bisa mencegah perbuatan pelaku sebelum peristiwa terjadi, bukan malah merekam perbuatan pelanggaran syariat Islam dan menyebarkan," jelas pria yang akrab disapa Razi.
Sebagai lembaga yang berperan menegakkan hukum dan menyelesaikan berbagai perkara hukum masyarakat Aceh, YARA merasa terpanggil memberikan edukasi hukum kepada masyarakat agar lebih sadar hukum. "Selama ini kita berperan aktif menyelesaikan berbagai permasalahan hukum yang dialami masyarakat, sehingga kita perlu mengingatkan agar warga tidak sampai terjerat kasus hukum," kata Razi.
Untuk diketahui, pelaku perekam dan penyebar video berkonten pornografi, selain dapat dijerat UU tentang larangan menyebarkan konten porno, juga dijerat UU ITE tentang penyalahgunaan Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sementara dalam aturan hukum terkait Perlindungan Anak yang termuat dalam Pasal 66 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan:
"Pertama, setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan hukuman yang tidak manusiawi. Kedua, hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada pelaku pidana yang masih anak. Ketiga, setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum".
"Keempat, penangkapan, penahanan atau
pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya
bisa dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Kelima, setiap anak yang dirampas
kemerdekaanya berhak mendapatkan perilaku secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usia dan hanya dipisahkan dengan orang dewasa"
"Keenam, setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif pada setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. Ketujuh, setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum". Demikian dijelaskan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh.
Saat ditanya apakah pelaku anak di bawah umur diduga melakukan Jarimah dapat dijerat pidana baik dengan KUHP maupun Qanun Jinayah, Fakhrurrazi menerangkan, sangat sulit menjerat anak anak di bawah umur dan jika pun Anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana anak.
Pada Pasal 67 ayat (1) qanun nomor 6 tahun 2014 disebutkan, apabila anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan ‘Uqubat paling banyak 1/3 (sepertiga) dari ‘Uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
"Sementara Ayat (2) mengatur tentang Tata cara pelaksanaan ‘Uqubat terhadap anak
yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem peradilan anak diatur dalam Peraturan Gubernur. Yang menjadi persoalan apakah Peraturan Gubernur ini sudah ada? jika belum ada, maka pelaku anak yang dibawah umur melakukan jarimah tidak bisa di cambuk," tegas Sekjen YARA.
Redaksi