IJN - Jakarta | Dialog perdamaian Aceh di gelar di Mess Aceh Jl. R.P Soeroso No.14 Cikini Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 14 Agustus 2019 sekira pukul 14.35 WIB. Menghadirkan sejumlah narasumber antara lain, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A Djalil, Ketua Umum SIRA yang juga mantan Wagub Aceh Muhammad Nazar, senator Aceh Fachrul Razi dan lain-lain.
Kegiatan tersebut merupakan rangkaian refleksi 14 Tahun MoU Helsinki yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki Finlandia. Penyelenggara kegiatan pemuda dan mahasiswa Aceh di Jakarta.
Peneliti Hak Asasi Manusia (HAM) Prof. Dr. Hafid Abbas mengatakan, Menjelang 14 tahun perdamaian Mou Helsinki ia berharap ada ketulusan dan keikhlasan disemua pihak, dan kerjasama antara pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat harus ditingkatkan guna Memajukan daerah Aceh.
"Masyarakat Aceh harus mendukung semua dan menjaga apa yang dapat mewujudkan dari perjanjian di Aceh, sehingga Aceh kedepannya dapat menjadi daerah yang maju baik dalam ekonomi dan hal lainnya," ujar Hafid Abbas.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Dr. Sofyan Adjalil, S.H mengatakan, Menurut ia saat ini di Aceh ada suatu ketidak puasan, seperti masalah keadilan, korupsi dll, dan Pemerintah pusat sudah melakukan terobosan-guna menghentikan ketidakpuasan tersebut.
"Proses perdamaian tidak dapat ditempuh dalam waktu yang singkat oleh karena itu saya menghimbau kepada generasi muda Aceh agar jangan pernah takut untuk bersaing di Kota besar, karena dikota besar generasi muda akan lebih banyak memperoleh peluang keberhasilan yang lebih besar," himbau Sofyan Adjalil.
"Bagi saya yang terpenting untuk memaknai Perdamaian Aceh adalah, bagaimana kita mengisi dari perdamaian itu sendiri, oleh karena itu kita harus melihat dan merefleksi diri apa akar dari permasalahan di Aceh itu sendiri," terangnya.
Sementara itu H. Fachrul Razi Senator DPD RI juga mengatakan, Perdamaian Aceh adalah suatu keberhasilan yang luar biasa, dimana keberhasilan perdamaian Aceh selalu mendapat pujian dan contoh dari beberapa negara-negara yang mengalami konflik, seperti Thailand dan Afrika.
"Korupsi adalah penumpang gelap menuju proses perdamaian di Aceh, karena itu korupsi merupakan suatu penyakit yang dapat menimbulkan gagalnya proses perdamaian itu sendiri," ungkap Fachrul Razi.
Ia juga menambahkan, adanya ketidak percayaan oleh pemerintah pusat terhadap Masyarakat Aceh seperti dengan keluarnya Keputusan Mendagri No. 188.34/2723/SJ tentang pembatalan atas Qanun Aceh nomor 3 Tahun 2013 tetang Bendera dan Lambang Aceh.
"Pemerintah Pusat harus segera merealisasikan seluruh point-point yang belum dilaksanakan dalam perjanjian MoU Helsinki guna mendukung dan menjaga dari perjanjian MoU itu sendiri," paparnya.
"Saya harapkan Pempus harus dapat berfikir positif terhadap Aceh dan memberikan energi yang positif, dan buat Eks GAM harus segera melakukan rekonsilasi guna terwujudnya perdamaian di Aceh," harap Fachrul Razi.
Aktivis SIRA, Muhammad Nazar, S. Ag juga mengatakan, dalam mewujudkan dan mengisi Perdamaian Aceh, sisi kemanusiaan adalah cara yang paling tepat, guna mendapatkan Aceh yang berhasil tanpa adanya pemberontakan lagi.
"Pemerintah Harus memperhatikan Aceh, dikarenakan bagi saya Aceh bila diumpankan Aceh adalah Kepala dan Papua adalah Badan, oleh karena itu perdamaian di Aceh harus tetap dijaga," terang Muhammad Nazar.
Penulis : Ruddy Setiawan
Editor : Mhd Fahmi