IJN - Jakarta | Abdullah Mahmud (AM) Hendropriyono kecewa dengan keputusan pemerintah mengakui peristiwa di Dusun Talangsari di Lampung Timur pada 7 Februari 1989 sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Saat peristiwa itu terjadi, Hendropriyono merupakan Komandan Korem 043/Garuda Hitam Lampung. Karena itu, namanya tak pernah lepas dari tragedi yang menewaskan 30 orang tersebut.
Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Rabu (15/2), Hendropriyono menilai peristiwa Talangsari bukan pelanggaran HAM berat. Menurutnya korban tewas yang jatuh bukan karena pembunuhan yang direncanakan. Peristiwa tersebut menurutnya tidak struktural, tidak sistematis, dan tidak meluas
Kronologi versi Hendropriyono
Hendropriyono pun bercerita pada 7 Februari 1989 itu ia dan rombongan datang ke Talangsari untuk bertemu kelompok Warsidi--yang disebut sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Kelompok tersebut disebut ingin menerapkan syariat Islam. Hendro datang ke Talangsari untuk mengambil jenazah Danramil Kapten Sutiman.
Sutiman tewas kena panah beracun saat datang ke Talangsari sehari sebelumnya saat hendak mendatangi kelompok Warsidi.
Namun, kata Hendropriyono, kelompok Warsidi enggan memberikan jenazah meskipun sudah diminta. Ia menuturkan saat itu datang ke Dusun Talangsari bersama rombongan Muspida untuk berdialog. Ia menolak jika kedatangannya ke Talangsari disebut sebagai serangan.
"Saya tidak mungkin datang sendiri, maka saya bersama-sama Muspida. Kita bukan mau jahat, kita mau bicara, mau dialog. Maka rombongannya Muspida. Kita masuk di tengah jalan, rupanya di tengah jalan itu sudah diadang. Mereka teriak, panah bertebaran, ada pistol ngambil dari Danram (Sutiman)," ujarnya.
Hendropriyono menuturkan saat di lokasi, pertempuran pun tidak terhindarkan. Ia mengatakan ada beberapa anak buahnya yang luka-luka terkena anak panah dan harus dievakuasi ke rumah sakit. Menurutnya, dalam kondisi seperti itu, hukum seolah dikesampingkan. Kondisinya adalah dibunuh atau membunuh lawan.
"Dalam pertempuran seperti itu kan tidak ada hukum. Hukumnya dibunuh atau membunuh. Terjadi pertempuran itu terpaksa karena demi melindungi seluruh Muspida," katanya.
Setelah peristiwa di Talangsari itu, lanjut Hendropriyono, ada beberapa orang dari kelompok Warsidi yang ditangkap. Sementara itu, menurut dia, ada 22 orang termasuk Warsidi yang meninggal dunia dalam peristiwa tersebut.
Dia membantah temuan Komnas HAM yang menyebut sedikitnya ada 130 orang terbunuh di Talangsari. Ia juga menyebut tak pernah menginstruksikan anak buahnya untuk membakar bangunan gubuk yang berisikan anggota kelompok Warsidi.
"Kebakaran yang membakar dia (warga) sendiri. Saya kan intelijen, kalau dibakar kan saya enggak dapat dokumen," ucapnya.
"Jadi yang cerita itu tidak masuk akal karena gubuknya kecil. Kalau 200 orang yang mati, lalu berapa orang di dalam gubuk? Masuk akal tidak? Saya dapat laporan gubuk sengaja dibakar supaya tidak pada menyerah. Karena saya suruh keluar pakai megaphone," tambahnya.
Hendropriyono juga membantah ada penyiksaan terhadap warga dari kelompok Warsidi yang tertangkap. Ia mengaku tak suka menyiksa orang. Selain itu, dia menegaskan tak pernah membunuh atau menyuruh-nyuruh anak buahnya membunuh orang.
"Saya bukan tipe orang penyiksa. Anak buah saya tolong ditanya. Saya tidak pernah membunuh orang, menyuruh bunuh orang, menembak orang mati pun tidak pernah. Tapi kalau di pertempuran saya tidak tahu, kalau ada tembakan-tembakan anak buah saya yang mengenai musuh lalu mati. Saya tidak tahu. Tidak pada yang direncanakan, si A atau B, tidak pernah. Tidak ada, sumpah. Terkutuk saya tujuh turunan," kata dia.
Menurut Hendropriyono, peristiwa di Talangsari sudah terang-benderang. Penyelidikan dan pengadilan terkait peristiwa di Talangsari pun telah dilakukan. Ia mengatakan tak pernah ada yang ditutup-tutupi.
Ia mengatakan pemerintah atau pihak terkait lainnya bisa mengecek bukti-bukti yang ada atau hasil keputusan pengadilan terdahulu. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu mengaku tak ingin terus dikait-kaitkan dengan peristiwa di Talangsari.
"Rekonsiliasi saya setuju. Tapi tolong jangan terus menunjuk. Kalau menunjuk Talangsari dan korban, berarti ada pelaku. Siapa pelaku dan siapa korban. Saya sudah tua, saya titip kalau saya sudah tidak ada, tolong nama saya dibersihkan. Jangan sampai nama saya seperti sekarang seperti yang dituduhkan. Saya tidak sejahat dan sejelek itu," katanya.
Korban Ingin Kasus Tuntas
Sebeumnya Korban Peristiwa Talangsari Lampung meminta negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu di pengadilan setelah 34 tahun berlalu.
Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Edi Arsadad alias Ujang menilai janji Presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dengan jalur non-yudisial sangat tidak adil bagi keluarga korban.
"Pernyataan Presiden, belum apa-apa dibandingkan dengan penderitaan dialami para korban yang mana imbasnya selama bertahun-tahun," kata Ujang dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/2) lalu.
Janji pemerintah memberi rehabilitasi berupa uang, fasilitas untuk korban dan penyesalan dinilai tidak sebanding dengan stigma yang diterima para keluarga korban lainnya. Penyintas peristiwa Talangsari ini mengatakan semuanya itu tidak bisa dinilai hanya dengan materi.
"Diganti uang, saya rasa tidak ada harganya dan nilainya karena tak sebanding dengan stigma yang kami (korban) terima. Kami distigma sebagai gerakan pengacau, dianggap PKI, teroris dan lainnya itu sangat menyakitkan," ujarnya.
Menurutnya, kerugian non materiil tersebut, jauh lebih menyakitkan dibanding betapa ringannya pemerintah menyatakan hanya penyesalan atas peristiwa itu.
"Saat peristiwa Talangsari itu terjadi, saya masih usia belasan tahun dan sempat menjadi tahanan politik pasca peristiwa itu. Tidak bisa sekolah dan ditolak sana-sini, sekarang mau diganti dengan uang saya rasa tidak," kata Edi.
Ia berharap, pemerintah membuktikan secara nyata dalam menyelesaikan atau memberikan pemulihan kepada korban secara transparan dan bermartabat. Sampai saat ini pun, kata dia, diskriminasi itu masih tetap ada terhadap para korban Talangsari.
"Presiden sudah ngomong, menyesalkan dan berjanji tidak mengulangi di masa mendatang. Tapi apakah pejabat-pejabat yang ada di bawahnya mengikuti instruksi Presiden," jelasnya.
Dia mengatakan pernyataan Presiden Jokowi tersebut, bisa menjadi pintu masuk Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melanjutkan penyidikan yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM pada 2008 lalu.
"Pengadilan HAM yang kita nantikan, supaya jelas agar ada ketok palu siapa pelaku dan korbannya. Jadi stigma itu hilang sama kami (korban) ke depan di pengadilan. Kesimpulan itu, kami sampaikan juga dalam diskusi publik peringatan 34 tahun peristiwa Talangsari bersama KontraS kemarin," pungkasnya.
Sumber : CNNIndonesia