IJN - Jakarta | Kondang sebagai BUMN kelas atas, karena menggatal potensi kekayaan alam melimpah, PT Pertamina selaku pengelola minyak dan gas Indonesia terus mengalami kerugian. Ada kabar pada tahun 2018, tercatat Pertamina mengalami defisit migas. Pada kuartal III 2018, BUMN ini hanya mendapatkan laba sekitar Rp 5 Triliun saja. Laba ini jauh dibawah laba pada priode yang sama di tahun 2017 sebesar Rp. 35 Triliun.
Menurut ALASKA (Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran), ini gabungan Lembaga Kaki Publik (Kajian dan Analisis Keterbukaan Informasi Publik), dengan Lembaga CBA (Center for Budget Analysis), bila mendedarkan alasan jebloknya laba Pertamina karena pelemahan rupiah.
"Ini mengada-ada. Pada akhir tahun 2018, ditengah situasi rupiah yang terus melemah, Pertamina menyebut pihaknya tetap mendapat untung, meski harga BBM tidak mengalami perubahan," papar Adri Zulpianto, Koord. ALASKA melalui rilisnya ke meja redaksi Indojayanews 11 Februari 2019.
Menurut ALASKA pula, Pertamina sangat tertutup terkait alasan kerugian yang dideritanya. Padahal, Pertamina punya potensi besar plus penguasaan sumber daya alam dan kran impor yang dikelolanya. Faktanya, kerugian yang diderita Pertamima selama ini, dimata ALASKA terkait pengelolaan anggaran semata karena salah kelola. Buktinya, ada direksi yang masuk KPK. Kebobrokan ini mengindikasikan, Pertamina masih menjadi sarang koruptor di negeri ini.
Masih soal beberan ALASKA, diluar kerugian itu, ditemukan potensi kebocoran anggaran PT Pertamina sejak 2015 sampai 2018 sebesar Rp 3,9 triliun, dan USD 1.040.981.966. "Munculnya kebocoran menjelang detik-detik Pilpres 2019, terasa sangat aneh dan fantastis," kata Zulpianto.
Konsekuensi atas sejumlah potensi kebocoran ini, Pertamina harus menanggung beban hutang yang berakibat adanya defisit migas dan jebloknya laba. Niscaya, andai kebocoran ini tidak ditanggulangi, kerugian Pertamina akan terus menumpuk.
Atas dasar dugaan jebloknya laba pertamina, serta begitu besar potensi kebocorannya, ALASKA meminta DPR segera memanggil Direktur Pertamina, Nicke Widyawati, segera evaluasi kepemimpinannya, karena dinilai kurang cocok dan tidak bagus.
Akhirnya, ALASKA mendesak KPK agar segera memanggil Nicke Widyawati. "Panggilan ini terkait adanya dugaan kebocoran anggaran sebesar Rp 3,9 triliun dan USD 1.040.981.966 menjelang Pilpres 2019 ini," pungkas Zulpianto.
Penulis: Harri Safiari