"Dengan Utang Luar Negeri mencapai Rp 6098,2 triliun berarti rasionya berkisar 38,64%. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang Indonesia kurang baik. Indikator ini juga menunjukkan kemampuan membayar utang Indonesia semakin memburuk," tegas Syarief.
Ia juga menegaskan agar pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang luar negeri. Menurutnya rasio utang Indonesia kemungkinan akan naik beberapa tahun ke depan akibat tekanan pandemi. Belanja Pemerintah dinilai harus meningkat seiring dengan penyusutan penerimaan negara, ditambah utang yang semakin membengkak. Ia juga menyebut alasan Pemerintah menerima pinjaman dari Australia tidak akan menyelesaikan persoalan utama pandemi COVID-19.
"Persoalan utama Pandemi Covid-19, baik kesehatan, ekonomi, maupun sosial bukan terletak pada persoalan dana, tetapi terletak pada persoalan manajemen penanggulangannya,"ungkapnya.
Syarief menyebut selama ini Pemerintah telah mengucurkan dana hingga Rp 800 triliun untuk menanggulangi COVID-19 namun hasilnya belum optimal. Ia menilai ekonomi Indonesia masih terkontraksi minus dan resesi pertama kali sejak tahun 1999. Ini dinilai membuktikan persoalan yang ada pada manajemen penanganan pandemi dan pengelolaan prioritas anggaran.
Ia juga menilai Pemerintah lebih banyak mengangagarkan pemulihan ekonomi nasional pada sektor usaha besar, termasuk BUMN. Padahal menurutnya kunci penyelesaian persoalan ekonomi terletak pada UMKM dan koperasi yang selama ini berkontribusi 63% terhadap PDB Indonesia dan menyerap 96% tenaga kerja Indonesia.
"Pemerintah harus mengoptimalkan *penguatan UMKM, koperasi, dan ekonomi grassroot apabila ingin menguatkan ekonomi. Sebab, merekalah tulang punggung ekonomi Indonesia,"tutup Syarief.
Sumber:DETIK.COM