Penulis Oleh : Andi Kurniawan/Guru
IJN - Banda Aceh | Sudah menunggu delapan bulan, kini harus menunggu dua bulan lagi paling telat Februari. Kata seorang staf di dinas Pendidikan Aceh. Yah mau tidak mau perasaan itu spontan tercurahkan setiap berkumpul bersama teman-teman saat ngopi. Perihal apakah itu. Adalah pembayaran honor guru kontrak di Aceh, dibawah naungan Dinas Pendidikan Aceh.
Sore itu, seperti biasa ritual ngopi bersama di salah satu warkop di Banda Aceh, seorang teman bertanya masih dizhalimi oleh dinas pendidikan aceh? sontak saya tersenyum menanggapi pertanyaan itu. Pembahasan tentang guru honor memang sedang jadi sorotan di meja kupi dalam sebulan ini, kenapa begitu.
Hal ini dikarenakan mayoritas penikmat kopi di meja tersebut bukan lain adalah para magister pendidikan, sarjana pendidikan dan mahasiswa yang kuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan sehingga membuat nyambung walau agenda ngopi bukan khusus untuk membahas masalah ini.
Perlu diketahui pada tanggal 27 Desember 2018 yang lalu Kadisdik Aceh, Syaridin, S.Pd., M.Pd. Pada Serambi Indonesia telah memberikan keterangan bahwa dana sebesar 267 Miliar telah dicairkan untuk seluruh guru kontrak se-Aceh. Namun penulis sebagai salah satu guru kontrak sampai dengan tanggal 4 Januari 2019 hanya menerima gaji di rek. Sekecil Rp. 613.000 . Aneh bin ajaib lagi, kalau dihitung sesuai grade yang harus dibayarkan. Jumlah itu masih kurang untuk pembayaran satu bulan.
Sedangkan penulis belum dibayar sejak bulan Agustus s.d Desember. Sambil minum kopi, ada seorang teman menawarkan bagaimana kalau kita adakan kegiatan doa bersama di Dinas Pendidikan Aceh. Jika demo dianggap radikal, apalagi dilakukan oleh para guru. Saya kembali senyum sambil berpikir menanggapi tawaran tersebut.
Memang beda dengan kenaikan harga tiket maskapai, tidak butuh waktu lama hanya dalam sekejap langsung viral. Padahal pengguna pesawat umumnya para ekonomi menengah keatas. Bila dibandingkan dengan isu guru kontrak atau non pns, sangat sedikit pihak yang peduli bahkan yang berkewajiban sekalipun enggan menyelesaikan permasalahan ini. Inilah yang dirasakan oleh para guru kontrak.
Belum lagi awal tahun ini kita semua dihebohkan dengan ratusan pegawai kontrak di pemerintah Aceh dirumahkan (bukan diberi rumah). Semakin membuat lemas para honorer khususnya guru. Mau mengkritik malah dihadapkan dengan ancaman dirumahkan, diam saja rasanya tak etis karena masalah gaji adalah hak yang semestinya dibayar sebelum keringat kering.
Jika kita pernah membaca ihya ulumudin karya imam Al-ghazali, dalam salah satu bab tentang adab pelajar dan pengajar. Beliau menjelaskan adab yang di miliki oleh pengajar adalah tidak seharusnya pengajar itu mengharapkan bayaran terhadap ilmu yang telah diberikan karena itu tidak setimpal.
Namun sebagai manusia yang hidup di zaman sekarang, tidak ada yang tak butuh uang. Berangkat ke sekolah butuh bensin, mengajar butuh bahan fotokopi yang dibeli pakai uang. Belum lagi mengisi perut tentu dengan makanan yang juga membutuhkan uang. Mari bersama kita intropeksi diri, terutama mengakui kesalahan agar tidak lagi mencari kesalahan orang.