05 Jun 2018 | Dilihat: 12432 Kali

DPRA Tidak Punya Hak Berhentikan Gubernur

noeh21
Gubernur Aceh drh. Irwandi Yusuf. Foto Ist
      

IJN | Terkait YARA desak DPRA berhentikan Gubernur Irwandi Yusuf, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada ikut mengomentari tersebut.

Aryos Nivada menolak argumen sejumlah pihak yang mendesak DPRA memberhentikan Gubernur Aceh drh. Irwandi Yusuf karena dinilai telah melanggar Undang-undang, khususnya pasal 56 ayat 4 UUPA dan UU No 7 tahun 2017 tentang pelantikan KIP Aceh.

“Argumen itu sebenarnya agak rancu. Pertama jelas bahwa DPRA tidak punya kewenangan memberhentikan Gubernur selaku eksekutif. Yang bisa memberhentikan Gubernur adalah Presiden berdasarkan Keputusan Pengadilan yaitu Mahkamah Agung," kata Aryos Nivada kepada redaksi Indojayanews.com, Selasa 5 Juni 2018 dikantor JSI.

Lanjut Aryos, DPRA hanya memiliki kewenangan menyatakan pendapat. Atas dasar pendapat DPRA itu , Mahkamah Agung kemudian memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRA dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRA itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.  Hal itu jelas diatur dalam Pasal 48 ayat (4) UUPA.

Baca juga Yara Desak DPRA Berhentikan Gubernur Aceh


"Kedua, Gubernur bisa diberhentikan tersangkut kasus hukum pidana. Ketiga, Gubernur selaku eksekutif dalam sumpah jabatannya diwajibkan menjalankan seluruh ketentuan peraturan perundang undangan. Dalam hal ini Qanun 6 Tahun 2016 sebagai Juknis Penyelenggara Pemilu di Aceh tetap harus dijalankan selama Qanun tersebut belum dicabut,” jelas Aryos.

Alumnus Universitas Gadjah Mada ini juga mengatakan tidak tepat membuat perbandingan kondisi Gubernur menolak Pelantikan KIP karena bertentangan dengan Qanun 6 Tahun 2016  dengan kasus bendera sebagaimana diatur dalam Qanun nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang

“Kalau untuk konteks polemik Bendera berbeda dengan polemik pelantikan KIP ini.  Sebelum Qanun bendera itu dibuat sudah ada PP nomor 77 tahun 2007 tentang lambang daerah. Harusnya Qanun nomor 3 tahun 2013  yang dibuat 7 tahun setelah PP bendera disahkan merujuk pada PP tersebut.  Tidak boleh membuat desain menyerupai desain logo bendera gerakan separtis sebagaimana diatur dalam Dalam  pasal 6 ayat (4) PP 77."Tutur Aryos.

Menurut Aryos, kunci penyelesaian masalah bendera dan lambang harus duduk Forkompinda menyelesaikan, bisa juga meminta fatwa dari Mahkamah Agung terhadap qanun bendera, dan revisi melaluo program prolegda.

"Sedangkan kasus pelantikan KIP, menurut Aryos sejatinya tidak ada pertentangan antara Qanun 6/2016 dengan UUPA.  Pasal 57 ayat (2) UUPA menyebutkan Masa kerja anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. kurang lebih sama juga tercantum dalam Pasal 10 Ayat (9) UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hanya saja ditambahkan ketentuan bahwa penyelenggara sesudahnya  dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama. Artinya redaksi UU 7 tahun 2017 yang mengatur masa jabatan KIP membatasi maksimal 2 kali bagi komisioner KIP ditingkatan yang sama. Baik UUPA maupun UU Pemilu tidak mengatur perihal perpanjangan masa jabatan apabila dalam situasi tertentu. Ketentuan tersebut kemudian diatur dalam Pasal 58 ayat 1 Qanun Aceh No.6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan di Aceh. Pasal tersebut masih berlaku saat ini, kecuali ada ketentuan dalam UU 7 Tahun 2017 yang mengamputasi pasal ini. nyatakan tidak ada ketentuan tersebut, “ ungkapnya.

Aryos menyarankan untuk mengakhiri kisruh ini, pihak DPRA harus secepatnya mengagendakan revisi Qanun Aceh No.6 Tahun 2016.

“Solusinya harus direvisi oleh DPRA  atau ada pihak yang menggugat Qanun tersebut ke MA. Intinya ketentuan Pasal 58 Qanun 6/2016 itu hanya dapat dinonaktifkan melalui produk hukum yang baru dibuat DPRA atau melalui keputusan pengadilan. Tanpa adanya hal tersebut UU tersebut secara hukum masih berlaku” pungkas Aryos Nivada.

Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas