IJN - Banda Aceh | Pesta demokrasi pemilihan Calon Kepala Daerah (Pilkada) baru saja usai. Hasilnya telah memberikan gambaran jelas siapa yang dipilih oleh rakyat untuk menjadi pemimpin, baik di tingkat nasional, maupun daerah.
Di Aceh, pilihan rakyat jatuh kepada sosok yang mereka harapkan mampu menjawab keresahan yang telah berlarut selama dua dekade—ketidakpastian implementasi MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Darnisaf Husnur atau Bang Saf yang merupakan aktivis referendum 99 mengatakan, rakyat Aceh telah jenuh dengan janji-janji kosong pemerintah pusat yang tak kunjung terealisasi.
"Aceh sudah terlalu lama menjadi objek janji politik tanpa hasil nyata. Dari izin tambang, penggunaan bendera, batas wilayah, hingga pengelolaan keuangan yang masih kacau balau. Semua ini semakin memperlihatkan ketidakseriusan pusat dalam menghormati hak-hak Aceh," kata Bang Saf dalam pernyataannya. Sabtu 7 Desember 2024.
Kepercayaan kepada Sang Panglima
Rakyat Aceh, dalam sikap politik terbarunya, memberikan mandat kepada Muzakir Manaf dan Fadhlullah (Mualem- Dek Fadh) untuk dapat menyampaikan persoalan Aceh ke Jakarta.
Keduanya, Menurut Bang Saf, dianggap sebagai figur yang paling mampu menyelesaikan masalah yang tertuang dalam MoU Helsinki dan UUPA.
Keputusan ini bukan sekadar pilihan politik, tetapi juga peringatan kepada pemerintah pusat, bahwa Aceh menginginkan solusi nyata, bukan basa-basi.
"Jika pemerintah pusat terus mengulur waktu dan tidak menepati janji-janji yang telah tertuang dalam MoU, maka jangan salahkan rakyat Aceh jika kekecewaan ini berujung pada gejolak baru,"lanjut Darnisaf Husnur atau yang akrab disapa Bang Saf, mengingatkan akan potensi krisis yang dapat terjadi bila tuntutan Aceh terus diabaikan.
MOU dan UUPA: Simbol Kekecewaan yang Membara
Kesepakatan MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menjadi titik balik bersejarah dalam hubungan Aceh dengan pemerintah pusat.
Namun, implementasinya masih jauh dari harapan. Beberapa poin krusial seperti pengelolaan sumber daya alam, penentuan batas wilayah, hingga kewenangan dalam pemilihan umum lokal, terus dipreteli secara perlahan.
Pemerintah pusat bahkan dianggap melanggar kewenangan Aceh dalam sistem pemilu yang baru saja berlalu.
"Aceh memiliki hak khusus dalam mengelola tata cara pemilihan, tetapi itu pun seperti sengaja diintervensi," kata Bang Saf.
Baginya, ini adalah bentuk pemaksaan kehendak yang hanya memperkeruh hubungan Jakarta-Aceh.
Pilihan atau Ancaman?
Melalui pemilihan kali ini, rakyat Aceh ingin menunjukkan bahwa mereka percaya kepada Muzakkir Manaf dan Fadhlullah sebagai sosok yang mampu menuntaskan persoalan yang telah berlarut-larut.
Namun, kepercayaan ini datang dengan syarat dan harapan besar. Jika Jakarta tetap acuh tak acuh, Bang Saf memperingatkan bahwa Aceh bisa kembali ke jalur perjuangan lamanya.
"Aceh tidak meminta lebih dari hak yang telah disepakati dalam MoU dan UUPA. Tetapi jika hak ini terus diabaikan, apakah Jakarta siap menanggung risiko dari kekecewaan rakyat Aceh? Biaya yang harus dibayar sangat mahal jika ini terjadi," ujar Bang Saf, menutup pernyataannya dengan nada penuh peringatan.
Menurutnya, Pilihan rakyat Aceh pada kepemimpinan baru ini adalah refleksi dari kemuakan terhadap janji-janji kosong dan ketidakadilan yang dirasakan selama ini.
"Pemerintah pusat harus membuka mata dan telinga, menyadari bahwa MoU Helsinki dan UUPA bukan sekadar dokumen, melainkan janji suci kepada rakyat Aceh,"ucapnya.
Dijelaskan, Muzakkir Manaf dan Fadhlullah kini memikul tanggung jawab besar. Mereka harus menjadi garda terdepan untuk memperjuangkan hak Aceh sekaligus memastikan agar harapan rakyat tidak berujung kecewa.
Disisi lain, pemerintah pusat harus berhenti memandang enteng Aceh.
Hubungan yang lebih harmonis dan adil hanya bisa tercapai jika semua pihak menghormati kesepakatan yang telah ada.
Aceh kini berada di persimpangan jalan. Apakah Jakarta akan memilih rekonsiliasi dan penghormatan, atau justru memantik api yang dapat membakar keutuhan bangsa? Waktu akan menjawab.
Penulis : Hendria