16 Feb 2020 | Dilihat: 1905 Kali

Koordinator MPO Aceh Persoalkan Gaji, Tunjangan hingga Biaya Asuransi Pegawai BPMA

noeh21
Fasilitas untuk pegawai BPMA dipertanyakan/Net
      
IJN - Banda Aceh | Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) yang mulai beroperasi sejak tahun 2016 lalu, hingga kini dinilai belum mampu menunjukkan kinerja sesuai harapan publik. BPMA merupakan lembaga yang lahir berkat implementasi dari Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) Pasal 160 ayat (1) dan (2).

Terkait lembaga tersebut, diatur dalam PP Nomor 23 tahun 2015, yang merupakan payung hukum berdirinya BPMA. Namun hingga saat ini dinilai belum mampu meningkatkan produksi migas Aceh, seperti disampaikan Koordinator MPO Aceh, Syakya Meirizal kepada Media INDOJAYANEWS.COM, Sabtu 15 Februari 2020.

"Kehadiran lembaga ini sejak awal diharapkan mampu meningkatkan kinerja produksi Migas Aceh. Sehingga pendapatan Aceh dari Tambahan Dana Bagi Hasil (TDBH) migas meningkat secara signifikan. Namun, harapan tersebut justeru bertolak belakang dengan harapan publik, BPMA malah lebih banyak disorot soal fasilitas mewah yang diterima pegawainya. Seperti gaji, tunjangan, biaya asuransi dan sebagainya," ungkap Syakya Meirizal.

Sementara itu, kata Syakya Meirizal, kinerja produksi migas Aceh masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari target pendapatan Aceh 2019 dan 2020. "Target penerimaan TDBH Migas dalam APBA tahun 2020 sebesar 481,079 miliar. Angka tersebut sama dengan penerimaan tahun 2019. Itu artinya BPMA tidak memiliki target untuk meningkatkan produksi migas Aceh pada tahun 2020," katanya.

Bahkan lanjut Syakya, penerimaan pada sumber Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak, hanya ditargetkan sebesar 16,637 miliar. "Padahal tahun 2019 lalu mencapai angka 53,567 miliar. Begitu juga dengan penerimaan dari sumber Dana Bagi Hasil Pertambangan Gas. Tahun 2020 hanya ditargetkan senilai 19,673 miliar. Sementara tahun 2019 realisasinya mencapai 36,925 milyar," beber Syakya
.
"Artinya, Pemerintah Aceh dan BPMA malah menurunkan target pendapatan dari sumber dana bagi hasil pertambangan minyak dan gas. Harusnya grafik penerimaan APBA dari kedua sumber tersebut linier dengan sumber tambahan bagi hasil Migas. Padahal sebelumnya, Aceh pernah menerima TDBH hingga diatas 1 triliun per-tahun."

Melihat fakta diatas, jelas Syakya, maka wajar jika banyak pihak mempertanyakan tata kelola dan kinerja manajemen BPMA. "Publik menilai BPMA tidak transparan dalan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai regulator industri Migas di wilayah Aceh. Bagaimana kita dengan berbagai fasilitas mewah yang diterima oleh pegawai BPMA mulai dari gaji yang besar, tunjangan yang tinggi dan jasa asuransi kelas VIP, harusnya BPMA dapat menunjukkan kinerja gemilang," harapnya.

"Setelah kehadiran BPMA, kita ingin melihat produksi migas Aceh dan penerimaan APBA dari sumber migas meningkat signifikan. Setidaknya grafik pendapatan Aceh dari TDBH migas dari tahun ke tahun terus meningkat. Tapi ekspektasi publik tersebut hingga kini belum mampu dijawab oleh BPMA. Padahal anggaran operasional lembaga ini sangat besar. Sehingga menimbulkan kesan, 'meuhai yum taloe ngon yum leumo," demikian pungkasnya.

Belum ada penjelasan dari pihak BPMA terkait penjelasan yang disampaikan Koordinator MPO Aceh, Syakya Meirizal. Publik tentu ingin mendapatkan penjelasan terkait alasan BPMA tidak memiliki target meningkatkan produksi migas pada tahun 2020, beberapa persoalan lainnya sebagaimana dijelaskan diatas.

Editor: Hidayat. S
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas