IJN – Jakarta | Kementerian Dalam Negeri disebut mulai mempertimbangkan Malek Mahmud Al Haytar sebagai Wali Nanggroe Aceh karena telah mengetahui proses pemilihannya cacat secara hukum. Demikian disampaikan Koordinator Pusat Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh (GEMPA) Husnul Jamil, sesuai rapat anatara GEMPA dan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal M Piliang, M. Si di Gedung Kemendagri Jl. Medan Merdeka Utara No.7 Jakarta Pusat, Senin 11 Maret 2019 kemarin.
Menurut Husnul Jamil, Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh (GEMPA) diundang secara lansung beraudiensi dengan Dirjen OTDA Kemendagri untuk membahas polemik yang ada di lembaga Wali Nanggroe Aceh tersebut.
“Sebelumnya, GEMPA sudah mengirimkan surat secara resmi kepada Menteri Dalam Negeri yang berisi Nota Keberatan, dalam nota keberatan tersebut GEMPA meminta kepada Mendagri untuk memperkuat Lembaga Wali Nanggroe. Selain itu, GEMPA juga menyampaikan bahwa proses terpilihnya kembali Malek Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh periode 2018-2023 tidak sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 atas perubahan Qanun Nomor 8 tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe Aceh, GEMPA juga menjelaskan bahwa telah melakukan aksi demonstrasi di Gedung DPR Aceh pada tanggal 28 Januari 2019 lalu,” jelas Koordinator GEMPA melalui rilis yang diterima Redaksi media Indojayanrews.com (IJN) Senin malam (11/3).
Koordinator GEMPA ini memaparkan, dalam pertemuan tersebut, pihak GEMPA yang masuk untuk beraudiensi yaitu Novan Hermawan selaku Presiden Mahasiswa Universitas Az Zahra, Presiden Mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun, Jalil, Aktivis Perempuan Rahmatun Phounna dan Syirhan Hirzan dari Aktivis HAM DKI Jakarta. Selebihnya Puluhan mahasiswa dan pemuda Aceh Jakarta di luar pagar Kemendagri melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk protes dalam penegakan hukum yang ada di Aceh.
Aktivis Perempuan Rahmatun Phounna juga menyebutkan, bahwa pihak Kemendagri sudah sepakat untuk memanggil unsur birokrasi yang ada di Aceh, terutama Wali Nanggroe Aceh, DPR Aceh, Plt Gubernur Aceh, MAA, MPU dan GEMPA untuk duduk secara musyawarah serta mengevaluasi polemik pengangkatan Malek Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh. Pertemuan tersebut akan dijadwalkan oleh Kemendagri secara resmi pada tanggal 20 Maret 2019 mendatang.
Selain itu, GEMPA juga menyampaikan kepada Dirjen OTDA Kemendagri terkait surat Plt Gubernur Aceh, Ir H Nova Iriansyah yang dinilai tidak konsisten dalam menyikapi persoalan yang ada di lembaga tersebut. Surat dengan Nomor : 821.29/30367 pada tanggal 17 Desember 2018, pada point nomor 6 yang tertulis “Pengukuhan tersebut tidak sinkron dan bertentangan dengan ketentuan tata cara pengukuhan Wali Nanggroe sebagaimana Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 105 Qanun Aceh tersebut. Sedangkan pada surat Nomor : 821.29/1925 yang di keluarkan pada tanggal 4 Februari 2019 mengatakan pada point 1.
“Bahwa kami tidak bermaksud mempermasalahkan proses pengukuhan Tengku Malik Mahmud Al Haytar sebagai Wali Nanggroe Aceh yang telah mengukuhkan dirinya pada tanggal 14 Desember 2018. Seharusnya PLT Gubernur konsisten dalam menyikapi polemik yang ada di lembaga tersebut,” ucap Rahmatun Phounna dalam pertemuan dengan Dirjen OTDA sebagaimana disampaikan kepada media ini.
Ditambahkan Husnul Jamil, Gerakan Mahasiswa Pemuda Aceh (GEMPA) akan terus mengawal secara konsisten terhadap proses penegakan hukum yang ada di Aceh, mereka tidak menginginkan adanya konspirasi politik atas pelacuran hukum yang ada di Aceh. “GEMPA akan terus melakukan advokasi, diplomasi serta akan menempuh jalur hukum untuk menguji proses pemilihan Malek Mahmud di Pengadilan Tinggi Negeri. Sebagai negara hukum, kami meyakinkan bahwa keputusan di Pengadilanlah yang tepat dalam menerima kenyataan ini. GEMPA juga akan konsisten memperkuat Lembaga Wali Nanggroe agar tetap eksis di Aceh, sehingga kekhususan Aceh tetap terjaga sebagaimana mestinya,” tambahnya.
“Kita tidak menginginkan lembaga ini stagnan dan tidak berkembang, tapi kita menginginkan lembaga ini menjadi terobosan baru sesuai dengan dinamika perkembangan zaman serta membangkitkan semangat peradaban Islam dan budaya yang ada di Aceh,” demikian tutup Husnul Jamil Koordinator GEMPA sekaligus Aktivis HAM Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.