19 Jun 2025 | Dilihat: 110 Kali
Rozi Ananda: Mualem Bukan Sekadar Panglima, Tapi Penjaga Marwah Aceh
etua Umum Bentara Muda Mualem, Rozi Ananda, memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem. Foto. Klose IJN
IJN - Banda Aceh | Ketua Umum Bentara Muda Mualem, Rozi Ananda, memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem, atas keberhasilan perjuangannya memperjuangkan empat pulau yang selama ini diperebutkan.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek sebagai wilayah administratif Provinsi Aceh, menurut Rozi, adalah bukti nyata bahwa suara Aceh masih punya gaung di Jakarta—asal diperjuangkan dengan hati, bukan retorika.
“Cukup sudah Mualem dihujat atas dosa-dosa masa lalu yang bukan miliknya. Hari ini, sejarah yang bicara. Bukan untuk sekadar membanggakan satu nama, tapi untuk menyadarkan kita semua, bahwa MoU Helsinki bukan hanya lembaran kertas—ia adalah harapan,” ucap Rozi, Selasa (17/06), dengan nada penuh haru.
Pernyataan Rozi ini keluar sesaat setelah Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan hasil Rapat Terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto secara daring dari Istana Kepresidenan.
Dalam keputusan itu, pemerintah resmi menetapkan keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Provinsi Aceh, berdasarkan dokumen administratif negara.
“Pemerintah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek masuk ke wilayah administratif Aceh,” kata Prasetyo.
Bagi Rozi, keputusan ini bukan sekadar soal batas wilayah. Ini adalah soal harga diri. Soal janji yang pernah diikrarkan dalam darah dan air mata pada 15 Agustus 2005—MoU Helsinki yang menyatukan luka dan harapan. Dan hari ini, satu per satu titik terang mulai muncul.
“Empat pulau itu bukan cuma daratan. Mereka adalah lambang keutuhan Aceh. Dan Mualem hari ini bukan cuma Gubernur, bukan cuma Panglima, tapi penjaga marwah Aceh yang terus berdiri di tengah gelombang badai,” lanjutnya.
Rozi juga berharap agar langkah ini menjadi pintu masuk bagi pemerintah pusat untuk menunaikan butir-butir lain dalam MoU Helsinki, termasuk pengibaran Bendera Bulan Bintang sebagai identitas kolektif rakyat Aceh.
“Kalau tanahnya diakui, semestinya simbolnya juga tak perlu ditakuti. Bendera Bulan Bintang itu bukan ancaman, ia adalah identitas. Ia adalah harapan. Sudah saatnya berkibar damai di langit Tanoh Rencong, bukan hanya dalam hati,” ucap Rozi tegas.
Dalam suasana penuh haru, Rozi mengajak generasi muda Aceh untuk tidak larut dalam sinisme. Menurutnya, terlalu banyak darah dan air mata yang sudah ditumpahkan untuk mimpi Aceh yang berdaulat secara damai.
“Ini saatnya kita bersatu, bukan membelah. Berjalan bersama, bukan saling sikut. Kalau Mualem saja tidak menyerah, lalu apa alasan kita untuk pesimis?” katanya.
Momen ini, bagi banyak orang Aceh, bukan sekadar keputusan administratif. Ini adalah sinyal bahwa perjuangan belum mati. Bahwa di tengah kerasnya politik nasional, masih ada ruang untuk suara Aceh didengar—selama ada yang membawa suara itu dengan keberanian, ketulusan, dan cinta.
"Kini, saat embusan angin menyentuh Pulau Panjang hingga Mangkir Ketek, rakyat Aceh tahu satu hal: mimpi itu belum mati. Dan harapan itu—masih terus hidup,"demikian tutupnya
Penulis : Ray
Editor : Redaksi