01 Apr 2020 | Dilihat: 316 Kali

Tolak Darurat Sipil, BEM FH Unimal: Itu Kebijakan Otoritarianisme Presiden

noeh21
Ketua BEM FH Unimal Muhammad Fadli.
      
IJN - Banda Aceh | Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, menolak kebijakan Pemerintah Indonesia yang ingin memberlakukan Darurat Sipil di Indonesia khususnya di Aceh. Penolakan itu disampaikan Ketua BEM Fakultas Hukum Unimal Muhammad Fadli kepada media, Selasa 31 Maret 2020.

Presiden Jokowi beberapa saat yang lalu menyampaikan bahwa pemerintah berencana menerapkan Darurat Sipil berlandaskan Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya untuk menangani wabah pandemi covid-19 di Indonesia.

"Kami menolak keras kebijakan ini, Ini merupakan kebijakan otoritarianisme dari Presiden Republik Indonesia. Kami menolak keras kebijakan ini apabila dilakukan," katanya.

Muhammad Fadli pun memberikan beberapa alasan fundamental terkait penolakannya itu. Menurutnya, menangani covid-19 perlu langkah langkah strategis tanpa mengesampingkan Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ini bukan perang konvensional, namun ini perang melawan virus yang tidak ada wujudnya, perlu langkah-langkah strategis untuk menghadapinya tanpa mengesampingkan HAM fundamental rakyat Indonesia," ujarnya.

Kedua, kebijakan Darurat Sipil ini memungkinkan terjadinyanya konflik vertikal atau pun horizontal di Indonesia, karena masyarakat tidak diberikan akses untuk kemana-mana sedangkan kebutuhan pokoknya tidak di tanggung oleh Pemerintah.

"Dengan adanya Darurat Sipi, akan ada kemungkinan besar Presiden melakukan abuse of power untuk kepala daerah yang menjadi lawan politiknya dengan cara diturunkan dari jabatan sebagai kepala daerah ketika tidak mendengarkan intruksinya," kata Fadli.

Karena, lanjutnya, hanya melalui darurat sipil pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan langsung tanpa usulan DPRD, bila perintah Penguasa Pusat dilanggar. "Analisis Pasal 7 Ayat (1) Dan (2) No. 23 Perppu Tahun 1959 Tentang keadaan bahaya (Darurat Sipil) dan Pasal 83 UU No 9 Tahun 2015 Jo UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah."

Selanjutnya, mengkarantina wilayah melalui UU No. 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan, dinilai lebih efektif dilakukan saat ini, seperti menutup akses masuk baik dari darat, laut, maupun udara.

"Dizinkan masuk hanya untuk alasan yang urgensi dan esensial, karena percuma masyarakat tetap di rumah jika tiap hari Warga Negara Asing (WNA) bisa keluar masuk dengan bebasnya di Indonesia," ungkapnya.

Atas beberapa alasan fundamental tersebut,  BEM Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh menolak kebijakan Darurat Sipil yang akan diambil oleh Presiden Jokowi. Fadli meminta agar Azas Hukum Salus Populi Suprema Lex Exto (Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi) harus diinterpretasi dengan baik dan diterapkan secara komprehensif.

"Jangan pemerintah baru memikirkan keselamatan rakyat ketika sudah positif covid-19, harus ada langkah-langkah preventif yang dilakukan sebelum diambil kebijakan yang represif," tegasnya.

Fadli menyarankan Presiden Jokowi hanya mengambil karantina wilayah seluruhnya, atau sebagian dengan menutup akses keluar masuk Indonesia, sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2018. Dan kemudian mengalokasikan APBN yang besar untuk penanggulangan wabah pandemi Internasional ini.

"Hentikan dulu proyek pembangunan untuk ibukota baru, karena itu bisa dialokasikan untuk penanggulangan bencana ini atas diskresi Presiden sesuai dengan Hukum Administrasi Negara," jelasnya.

Ketua BEM FH Unimal tersebut juga mempertanyakan keberanian Presiden Jokowi untuk memenuhi amanat konstitusi Pasal 55 Ayat (1)  UU No. 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan, bahwa selama diberlakukannya karantina, kebutuhan pokok masyarakat bahkan hewan ternak ditanggung oleh Negara.

"Presiden jangan mengembalikan nostalgia masyarakat Indonesia ketika masa Orde baru (Orba). Presiden Jokowi tidak boleh otoritarianisme, karena Indonesia bukan negara kekuasaan. Indonesia Negara Hukum sesuai dengan pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang kemudian sangat menghormati Hak Azasi Manusia.

"Presiden Jokowi jangan lagi mengeluarkan narasi yang menakuti rakyat dengan mengeluarkan kebijakan populis dan apologetik dalam memerangi wabah pandemi ini. Kita harus bergerak bersama-sama secara kolektif kolegial, Presiden Jokowi hari ini harus hadir sebagai pemimpin Rakyat Indonesia bukan penguasa Indonesia," tutup Muhammad Fadli.
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas