IJN - Aceh Besar | Universitas Syiah Kuala (USK) menegaskan bahwa subjek hukum Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Aceh Besar telah jelas secara historis, sosial budaya, maupun hukum formal.
Penegasan ini disampaikan dalam Lokakarya “Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Tenurial Masyarakat Hukum Adat” yang diselenggarakan oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) bekerja sama dengan Pemkab Aceh Besar, di The Pade Hotel, Rabu 29 Oktober 2025.
Kepala Pusat Riset Hukum Islam dan Adat (PRHIA) USK, Prof. Dr. Azhari, S.H., MCL., MA, menjelaskan bahwa hasil riset tim PRHIA menunjukkan subjek masyarakat hukum adat di Aceh Besar berupa Mukim, Gampong, dan Laot “hana le dawa dawi”-(tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan).
Menurutnya, yang kini perlu dilakukan adalah memusyawarahkan dan memverifikasi objek tenurial agar clear and clean dari klaim tumpang tindih.
“Persoalan utama bukan lagi pada keberadaan subjek MHA, tetapi pada objek tenurial-wilayah adat, tanah adat, dan hutan adat—yang harus diverifikasi secara partisipatif agar bebas dari konflik dan tumpang tindih klaim,” tegas Prof. Azhari.
Deputi II BRWA, Aldiya Saputra, menilai hasil riset USK menjadi landasan akademik yang kuat untuk mempercepat pengakuan formal wilayah adat serta perlindungan hak-hak tenurial masyarakat adat di Aceh.
“Bersama USK, kami memastikan siapa subjek dan objek MHA di Aceh agar hak-hak mereka tidak lagi terabaikan,” ujarnya.
Rektor USK, Prof. Dr. Ir. Marwan, mengungkapkan bahwa sejak tahun 2022 USK telah meneliti dan memetakan 148 titik tanah ulayat di sepuluh kabupaten/kota di Aceh.
Dari jumlah tersebut, 14 titik telah dinyatakan clear and clean, dan dua mukim—Siem dan Seulimeum—telah memperoleh sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) pada tahun 2024.
Sebelumnya, USK juga telah berkontribusi terhadap lahirnya Surat Keputusan (SK) Pengakuan terhadap delapan Hutan Adat Mukim di Kabupaten Aceh Jaya, Pidie, dan Bireuen pada tahun 2023. SK tersebut diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, menandai pengakuan formal pertama terhadap hutan adat mukim di Aceh.
“Ini bukti bahwa riset akademik dapat menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat,” ungkap Prof. Marwan, yang turut mencalonkan diri kembali sebagai Rektor USK periode 2026–2031.
Sementara itu, Bupati Aceh Besar, H. Muharram Idris, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada USK dan BRWA atas dukungan akademik serta pendampingan riset yang telah dilakukan.
Ia menilai kegiatan ini membantu memperjelas status hukum masyarakat adat dan mempercepat penyelesaian konflik tenurial di Aceh Besar.
“Kami sangat mendukung dan berharap hak masyarakat adat dapat dikembalikan kepada masyarakat adat,” tegas Bupati.
Bupati juga menyoroti pentingnya penguatan lembaga mukim sebagai entitas adat khas Aceh yang strategis dalam pengelolaan wilayah.
“Mukim adalah lembaga adat tertua di Aceh. Di Aceh Besar terdapat 68 imeum mukim yang harus kita perkuat. Namun karena tidak memiliki kewenangan anggaran, peran mereka menjadi lemah. Ini harus kita luruskan agar mukim kembali berdaya,” tambahnya.
Lokakarya ini menghadirkan berbagai narasumber, baik dari tingkat lokal maupun nasional, antara lain Kepala PRHIA USK, Ketua YRBI, MDPM Aceh, serta Asisten I Setdakab Aceh Besar.
Narasumber dari Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian LHK juga turut berpartisipasi secara daring untuk membahas sinergi kebijakan nasional dalam penguatan hak tenurial dan pengakuan hutan adat.
Kegiatan ini difasilitasi oleh Muhammad Taufiq Abda dan diikuti oleh 13 imeum mukim di Aceh Besar, tim peneliti PRHIA USK, BRWA, lembaga nonpemerintah, serta instansi terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Besar.
Penulis: Hendria Irawan
Editor: Muhammad Zairin