IJN - Aceh | Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Aceh mengecam keras tindakan seorang kepala desa (kades) di Kabupaten Aceh Utara yang melaporkan seorang wanita berusia 60 tahun ke polisi.
Menurut Ketua Departemen Internal BEM FH Unimal Mahmmad Rajief, laporan tersebut akibat dari perkelahian yang terjadi di halaman rumah nenek bernama Husna tersebut pada Kamis, 2 April 2020 lalu, antara kades tersebut dengan nek Husna, yang lain adalah warganya sendiri.
“Kami mengecam tindakan oknum keuchik (kades) tersebut, seharusnya keuchik dapat menyelesaikan sengketa ini di gampong (desa) secara kekeluargaan, tidak harus sampai di pihak kepolisian," kata Muhammad Rajief kepada media, Senin 6 April 2020.
Tindakan kades mempidanakan warganya sendiri, dinilai sangat tidak terpuji. Karena kata Rajief, sesuai dengan Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, termasuk 18 perkara tindak pidana ringan yang terjadi di masyarakat, dapat diselesaikan secara adat oleh aparatur desa.
Hal ini juga diperkuat lagi dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat, serta terdapat keputusan bersama antara Gubernur Aceh, kapolda dan Majelis Adat Aceh (MAA).
Ada pun perkara yang bisa diselesaikan tanpa harus melalui proses peradilan negara diantaranya, perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh (ahli waris/warisan), perselisihan antar warga, khalwat (mesum), perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta sehareukat.
Kemudian perkara pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat), pelecehan, fitnah, dan hasut.
Kemudian kasus pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), serta perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.
“Kami berharap untuk dapat diselesaikan secara kekeluargaan di tingkat gampong oleh para tokoh gampong, jangan dibawa ke ranah hukum (positif), sehingga melibatkan pihak kepolisian untuk menyelesaikan perkara ini,” harap Rajief.
Seharusnya, kata dia, seorang kades sebagai pemimpin yang dipilih oleh warganya di gampong, dapat memberikan contoh dan menjadi panutan kepada warganya yang lain dalam berbagai persoalan. Nenek tersebut juga merupakan warganya.
“Kami juga meminta kepada Polres Aceh Utara agar tidak menerima laporan tersebut, karena hukum pidana itu harus menjadi ultimum remedium (upaya terakhir dalam menyelesaikan masalah) dan juga kasus tersebut bisa diselesaikan dengan qanun karena kekhususan Aceh melalui UU No 11 tahun 2006 sesuai dengan Qanun Nomor Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013," jelasnya.
"Kami juga meminta Kapolres Aceh Utara agar dapat menjadi fasilitator untuk mendamaikan permasalahan tersebut, sehingga tidak berlanjut ke ranah litigasi. Kita sangat yakin Polres Aceh Utara bisa menjadi pengayom masyarakat sesuai dengan slogannya," demikian sambung Rajief menutup pernyataannya.
Sebelumnya, seperti diberitakan sejumlah media di Aceh, pada Kamis 2 April 2020, telah terjadi kesalahpahaman dan perselisihan antara wanita berusia 60 bernama Husna, dengan kades di Desa Lhok Pu’uk, Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, Aceh.
Dalam perselisihan sekira pukul 12.30 WIB itu, sang kades mengaku dipukul oleh nenek 60 tahun tersebut di halaman rumah sang nenek. Karena tak terima, ia melaporkan tindakan itu ke pihak penegak hukum.