Hari ini insan pers tanah air kembali diperhadapkan dengan perhelatan peringatan Hari Pers Nasional. Kendati masih menuai kontroversi soal penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional, namun pesta peringatannya tetap saja berlanjut. Bahkan hampir setiap tahun selalu menghadirkan Presiden Republik Indonesia dan sejumlah petinggi negara.
Judulnya Hari Pers Nasional tapi yang hadir hanyalah sekelompok wartawan konstituen Dewan Pers. Sayangnya Pers di luar itu, yang begitu luas dan besar, tidak terlibat dan dilibatkan di dalamnya. Labelnya Nasional tapi kenyataannya hanyalah kelompok konstituen yang hadir. Dan itu fakta bukan hoax.
Terlepas dari hal itu dan sedikit menengok ke belakang, sejak tahun 1999 pers Indonesia seolah terbebas dari belenggu tirani orde baru. Masih sulit dilupakan, pembredelan terhadap media massa di era orde baru merupakan sejarah kelam dunia pers tanah air. Departemen Penerangan Republik Indonesia di jaman itu tak jarang membredel media massa yang pemberitaannya dianggap kerap menyudutkan penguasa dan pemerintah.
Majalah Tempo, Harian Sinar Harapan, Harian The Jakarta Times, Tabloid Detik, Harian KAMI, Harian Indonesia Raya, Harian Abadi, Harian Wenang, Harian Pedoman, Majalah Ekspres, Harian Pemuda Indonesia, dan Tabloid Monitor, Harian Nusantara & Harian Suluh Berita (terbitan Surabaya), dan Harian Mahasiswa Indonesia (terbitan Bandung) adalah sederetan media cetak yang mengalami nasib dibredel pemerintah orde baru ketika itu. Sejak reformasi Departemen Penerangan pun sudah terkubur dalam-dalam bersama sejarah kelam masa lalu.
Namun sekarang ini 'hantu' Departemen Penerangan itu sepertinya sudah mulai bangkit lagi dan bermetamorphosis dengan wujud baru bernama Dewan Pers. Bahkan bentuknya lebih menakutkan lagi. Kalau dulu yang paling ditakuti pers hanyalah pembredelan media, tapi sekarang justeru prakteknya lebih parah lagi dari itu. Wartawan dan media yang berani melawan penguasa dan pengusaha lewat kontrol pemberitaannya tak jarang diganjar bui lewat selembar surat rekomendasi Dewan Pers.
Buktinya, sebuah berita di Kalimantan Selatan yang ditulis wartawan bernama Muhammad Yusuf ternyata seharga nyawanya. Sungguh miris dan memprihatinkan. Begitu mahalkah harga sebuah berita yang harus dibayar dengan nyawa seorang wartawan?
Sayangnya rekomendasi 'pencabut nyawa' Dewan Pers masih dianggap biasa oleh pemerintah. Dewan Pers dan KomnasHAM pun bereaksi seolah hanya sebatas bersenandung 'di kamar mandi' menyuarakan kejadian tersebut. Sesudah itu diam seribu bahasa.
Dan kini, menjelang HPN insan pers dibuat heboh dengan rencana Diskusi Publik bertema : Memberantas Jurnalis Abal-Abal. Sederetan pembicara bakal dihadirkan, termasuk Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Tidak penting siapa pembicara di dalamnya, namun pihak terselubung di balik diskusi tersebut justeru yang menarik perhatian. Ternyata ada Dempol Institute di belakangnya. Institusi yang jelas bukan organisasi pers. Independensi Dewan Pers patut dipertanyakan.
Tak sedikit yang mengkritik habis-habisan diskusi yang bertema penghinaan terhadap jurnalis tersebut. Semua itu sebetulnya tidak penting dibahas karena yang menggelar kegiatan tersebut hanyalah sekelompok konstituen Dewan Pers.
Sebab yang terpenting bagi insan pers saat ini sebetulnya adalah memahami bahwa pada kenyataannya ada ancaman pers Indonesia makin terjajah oleh anak bangsa sendiri yakni oknum anggota Dewan Pers dan kroni-kroninya.
Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun karena ingin menguasai kekayaan alam Indonesia. Dan sampai hari ini pers Indonesia masih saja dijajah oleh mafia pers karena ingin menguasai belanja iklan nasional yang nilainya cukup fantastis mencapai angka 150 triliun Rupiah pertahun. Parahnya, jumlah sebanyak itu hanya dinikmati oleh tidak lebih dari 10 orang konglomerat media.
Sebutan media dan jurnalis abal-abal hanyalah bentuk kamuflase yang sengaja dimunculkan oleh Dewan Pers demi mempertahankan kepentingan kelompok tertentu, terkait belanja iklan tersebut.
Perusahaan pers yang di luar konstituen Dewan Pers sengaja dicap abal-abal agar akses ekonominya terhambat masalah trust atau kepercayaan publik, baik pembaca maupun penyedia dan pengguna jasa periklanan.
Perusahaan pers itu hakekatnya menjual trust atau kepercayaan kepada publik melalui media yang didirikannya. Makanya label abal-abal itu terus dikumandangkan Dewan Pers agar media-media kecil itu sulit berkembang.
Lebih dahsyat lagi, hari ini beredar film pendek tentang media dan wartawan abal-abal yang diupload di chanel Youtube (https:youtu.be/dEwq3PEGefU). Propaganda negatif terus ditebar secara terang benderang bahwa praktek media abal-abal tujuannya adalah untuk memeras. Padahal Dewan Pers lupa bahwa media mainstream justeru lebih berpeluang melakukan praktek pemerasan karena daya jangkau dan kekuatan siaran medianya sangat kuat mempengaruhi opini publik.
Terlepas dari segala kontroversi itu, kita kembali pada pokok persoalan, ada hal yang jauh lebih penting lagi yang patut diperhatikan oleh insan pers tanah air, yakni potensi belanja iklan nasional tadi, karena berdampak sangat luas terhadap keberlangsungan pers Indonesia.
Berbicara potensi belanja iklan nasional tentunya tak terlepas dari ruang lingkup operasional perusahaan pers. Tak bisa dipungkiri bahwa ada 43 ribuan media yang dikalim Dewan Pers belum terverifikasi dan abal-abal. Sayangnya, puluhan ribu media massa tersebut di atas, tidak ikut menikmati belanja iklan nasional yang mencapai angka lebih dari 100 triliun rupiah per tahun.
Berdasarkan data dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) bahwa belanja iklan media di Indonesia sepanjang tahun 2012 mencapai angka Rp 107 triliun. Dan pada Tahun 2013 menyentuh Rp147 triliun. Sedangkan tahun 2014 belanja iklan melonjak sampai Rp155 triliun. Kemudian menurun pada 2015 sebesar Rp118 triliun.
Sementara perusahaan riset Nielsen Indonesia pada tahun 2016 mencatat belanja iklan di televisi dan media cetak mencapai Rp 134,8 triliun dan tahun 2017 mencapai Rp 145 triliun.
Dari total jumlah belanja iklan nasional yang mencapai angka fantastis di atas Rp 100 triliun tersebut, sebagian besar dikuasai oleh media TV sekitar 80 persen dan sisanya dibagi-bagi oleh media cetak, radio, dan media online. Tahun 2018 lalu, belanja iklan TV menembus angka 110 triliun Rupiah.
Selama ini publik berhak bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Dewan Pers untuk menyelesaikan persoalan pers Indonesia, termasuk mengenai peluang pemerataan belanja iklan nasional tersebut bagi media lokal. Praktek yang dijalankan saat ini justeru Dewan Pers hanya sibuk menggelar diskusi dan menyebar propaganda tentang media dan wartawan abal-abal tanpa memberi solusi yang jelas. Milyaran rupiah menguap dari anggaran Dewan Pers jalan-jalan ke seluruh daerah hanya untuk menyebarkan propaganda pers abal-abal.
Sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan kemerdekaan pers tentunya Dewan Pers wajib mengambil langkah nyata untuk menjalankan fungsi tersebut. Selama bertahun-tahun dengan anggaran mencapai triliunan rupiah melalui Kementrian Kominfo, Dewan Pers baru berhasil memverifikasi 2744 perusahaan pers dari sekitar 43.000 media.
Dewan Pers yang pengangkatannya disahkan oleh Presiden Republik Indonesia harus memahami bahwa secara hukum, setiap warga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2). Kemudian dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu, dalam Pasal 11 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyebutkan setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan atau meningkatkan taraf kehidupan yang layak bagi setiap warga Indonesia, pemerintah wajib menciptakan lapangan pekerjaan untuk seluruh warga Indonesia. Ini sesuai dengan kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak-hak warga Indonesia, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Ironisnya, Dewan Pers justeru sibuk membuat pernyataan yang kontraproduktif dengan menuding bahwa orang mendirikan media untuk tujuan memeras. Padahal, kenyataannya ada ribuan media didirikan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan informasi publik dan potensi menciptakan lapangan pekerjaan di bidang pers.
Pada bagian lain, Dewan Pers yang berfungsi untuk melindungi kemerdekaan pers justeru menjadi bagian terpenting dalam upaya mengkriminalisasi pers Indonesia.
Penerapan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan yang mewajibkan wartawan mengikuti proses Uji Kompetensi Wartawan atau UKW kian mengancam eksistensi pers di Indonesia.
Wartawan yang belum atau tidak mengikuti UKW akan dianggap illegal oleh Dewan Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Terbukti dalam berbagai kasus aduan sengketa pers, Dewan Pers tidak segan-segan mengeluarkan rekomendasi dengan pertimbangan bahwa wartawan yang menjadi teradu belum mengikuti UKW sehingga perkara yang diadukan dapat diteruskan ke pihak kepolisian dengan pasal pidana umum.
Padahal pelaksanaan UKW oleh Dewan Pers ini adalah bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan karena yang berwenang melaksanakan Uji Kompetensi adalah Lembaga Sertifikasi Profesi yang disahkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP dan bukannya oleh Dewan Pers.
Persoalan ini akhirnya dijawab Anggota Dewan Pers Henry Ch. Bangun. Ramai diberitakan, Henry menyampaikan bahwa nantinya uji kompetensi wartawan atau UKW yang selama ini diselenggarakan oleh Dewan Pers bakal dislaraskan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang diterapkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Artinya, pernyataan Henry tersebut mengakui bahwa apa yang dijalankan Dewan Pers selama ini tentang UKW adalah tidak berdasarkan UU Ketenagakerjaan sebagaimana selama ini diprotes oleh Serikat Pers Republik Indonesia dalam berbagai tulisan, bahkan gugatan resmi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebagai solusi dari penerapan UKW abal-abal, DPP SPRI telah mendirikan Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia yang nantinya diupayakan mendapatkan lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP. Degan adanya LSP Pers Indonesia maka kedepan nanti wartawan dapat mengikuti uji kompetensi melalui wadah resmi dan sertifikatnya diakui oleh negara.
Dari seluruh perosalan yang diurai di atas ada satu solusi yang ditawarkan pergerakan kelompok pers yang tidak diakui oleh Dewan Pers yakni Sekretariat Bersama Pers Indonesia. Sejumlah Ketua Umum dan pimpinan organisasi pers berkumpul dan berkomitmen menegakan kemerdekaan pers dengan misi mengembalikan kedaulatan pers Indonesia kepada insan pers tanah air secara professional dan bertanggung-jawab.
Di penghujung tahun 2018 lalu, hampir 3000 wartawan bersatu hati mengikuti kegiatan akbar Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Ribuan wartawan ini datang secara sukarela dengan biaya sendiri hanya untuk menghadiri Mubes Pers Indonesia dengan satu harapan yaitu kriminalisasi dan diskriminasi terhadap pers Indonesia dihentikan. Deklarasi berdirinya Dewan Pers yang Independen pun lahir pada Mubes Pers ini.
Dan kini kesinambungan kegiatan Mubes Pers Indonesia 2018 itu berlanjut pada rencana pelaksanaan Kongres Pers Indonesia 2019 yang sedianya akan digelar pada tanggal 6 Maret 2019 di JICC Kemayoran Jakarta. Kongres Pers Indonesia 2019 ini akan melahirkan sejumlah peraturan-peraturan di bidang pers dan anggota Dewan Pers yang independen.
Sebagai permenungan, hari ini kita masih melihat running text di salah satu media TV nasional mengumumkan bahwa wartawannya tidak menerima imbalan dalam mejalankan tugas liputannya. Pengumuman seperti itu terjadi karena ada potensi wartawannya menerima amplop. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan, masih ada wartawan media mainstream menerima amplop sebagai imbalan liputan. Dewan Pers sepertinya menutup mata atas kondisi ini. Atau mungkin pura-pura tidak tahu.
Sebetulnya, solusi untuk meningkatkan independensi pers, ada satu cara yang diatur oleh UU Pers yaitu pada pasal 10 dimana disebutkan; "Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya."
Dewan Pers perlu membuat program untuk mendesak perusahaan-perusahaan pers nasional agar segera memenuhi kewajiban pemberian kesejahteraan kepada wartawan sebagaimana diatur pada pasal 10 UU Pers tersebut.
Saat ini masyarakat pers ingin tahu berapa sebetulnya gaji atau upah ideal wartawan Indonesia untuk jaminan independensi pers mengacu dari perhitungan kasar penghasilan media besar yang mencapai angka triliunan rupiah.
Muncul pertanyaan, "Pernahkah Dewan Pers memasukan itu dalam agenda kerja utamanya? Dan bagaimana caranya agar media dan jurnalis abal-abal versi Dewan Pers bisa dibina agar tidak menjalankan praktek abal-abal, bukannya diberantas?"
Mendirikan media dan mempekerjakan watawan yang belum professional itu bukanlah tindakan kriminal yang harus diberantas. Yang layak diberantas itu adalah praktek monopoli belanja iklan. Karena itu melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selama ini media lokal tidak kebagian belanja iklan. Semua dikuasai oleh media besar berskala nasional. Namun Dewan Pers lagi-lagi memble.
Hak mandapatkan belanja iklan nasional harus diperjuangkan. Kalau bukan kita siapa lagi. Mari kita bersatu melawan tirani Dewan Pers dan mengembalikan kedaulatan Pers Indonesa. Tanggal 6 Maret 2019 Kongres Pers Indonesia 2019 bisa menjadi solusi perjuangan bersama.
Penulis: Heintje Grontson Mandagie
(Ketua DPP Serikat Pers Republik Indonesia dan Sekretaris Sekber Pers Indonesia)