16 Jan 2019 | Dilihat: 1068 Kali
GeRAK Desak Kejati Aceh Tuntaskan Kasus Korupsi PDKS Simeulue
Hayatudin Tanjung, Kadiv Advokasi GeRAK Aceh. Foto: Gatra.com.
IJN - Banda Aceh I Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menanggapi penanganan kasus dugaan korupsi pada Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) tahun 2002-2012 dengan indikasi kerugian negara Rp 51 miliar dari jumlah penyertaan modal Rp 227 miliar yang bersumber dari APBK Simeulue yang terbilang lama dan terkesan jalan di tempat.
Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan, GeRAK Aceh mendorong kasus dugaan korupsi PDKS ini segera dituntaskan oleh Kejaksaan Tinggi Aceh. Hal itu ia ungkapkan saat dihubungi media Indojayanews.com, Rabu 16 Januari 2019.
Menurutnya, kasus korupsi PDKS sudah memakan waktu yang cukup lama dalam penanganan perkara yang dilakukan.
"Untuk itu harus segera ditangani secepatnya agar tidak terkesan Kejaksaan Tinggi Aceh menggantung suatu perkara. Apalagi kasus ini sudah adanya penetapan tersangka,"ungkap Hayatudin.
Untuk diketahui, Kejati Aceh telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus korupsi PDKS, yaitu, mantan bupati Simeulue yang sekarang menjadi anggota DPRK setempat, Darmili, yang ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Maret 2016.
Dua tersangka lainnya adalah, mantan direktur utama (dirut) PDKS yang berinisial, AU dan Dirut PT PD berinisial A yang juga anak Darmili. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada 6 Oktober 2018, seperti yang dikutip dari Harian Serambi Aceh yang tayang pada Rabu (16/01/2019).
Lebih lanjut, Hayatudin mengungkapkan, GeRAK Aceh juga mendesak BPK RI atau BPKP segera melakukan Audit terhadap kerugian keuangan Negara. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui total kerugian keuangan negara.
"Maka kami minta kejaksaan tinggi untuk mempertanyakan ke BPK RI atau BPKP sejauh mana audit yang telah dilakukan,"tegas Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatudin.
Seperti diketahui, sudah tiga tahun sejak 2015 kasus tersebut ditangani, hingga kini masih di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh dan belum dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh. Alasannya, karena pihak kejaksaan belum memiliki hasil perhitungan kerugian negara.
Namun demikian, pihaknya tetap berupaya agar kasus itu segera dilimpahkan ke pengadilan.
Molornya penanganan kasus ini lantaran belum adanya titik temu masalah perhitungan kerugian negara (PKN). Karenanya, Kejati mengandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyelesaikan perkara ini.