02 Jun 2018 | Dilihat: 1305 Kali

Pelantikan Kepala ULP Aceh Menuai Pro Kontra

noeh21
Pelantikan eselon dua
      
IJN | Pelantikan kepala ULP Aceh menuai pro kontra, salah satunya dari Praktisi Hukum, Hendra Vramenia SH, menyebut pelantikan Ir. Nizarli, M.Eng, sebagai kepala ULP Aceh belum sah dimata hukum meski telah terbit surat KASN yang menyetujui Pelaksanaan Seleksi Terbuka JPT Pratama di lingkup Pemerintahan Aceh.

“Harus dipahami dalam surat bernomor R-979/KASN/5/2018 yang ditandatangani oleh Wakil Ketua KASN, Irham Dilmy per tanggal 2 Mei 2018, disebutkan bahwa surat KASN tersebut adalah balasan atas surat Pemerintah Aceh Nomor 824.2/0142018 tanggal 25 April 2018 perihal penyampaian dan penjelasan terhadap hasil pelaksanaan seleksi terbuka JPT Pratama dan pelantikan PPT Pratama di lingkungan Aceh,” kata Hendra Vramenia.

Artinya, lanjut dia surat tersebut merupakan penjelasan bahwa secara umum keseluruhan seleksi JPT Pratama di lingkup Pemerintah Aceh menurut KASN tidak jauh berbeda dengan prosedur yang diatur oleh aturan perundangan. “Jadi ini sangat normatif sifatnya,” sebut Hendra. Hendra Vramenia kepada jurnalis indojayanews.com, Sabtu 2 Mei 2018.

Meskipun demikian, dalam surat tersebut pada poin 2 disebutkan, KSN memaklumi dan menyetujui pelaksanaan pelantikan terhadap 9 (Sembilan) PPT Pratama pada tanggal 16 April 2018, dimana Nizarli termasuk dalam pejabat yang dilantik sebagai Kabiro Pengadaan Barang dan Jasa Setda Aceh.

Baca Juga : YARA Resmi Laporkan Kepala ULP ke KASN

“Ada yang aneh dalam surat ini. Dalam Lampiran 1 disebutkan daftar nama 64 JPT Pratama yang telah diseleksi terbuka di lingkup pemerintah Aceh. Kemudian lampiran 2 disebutkan 9 JPT Pratama yang dilantik pada 16 April 2018. Namun, anehnya tidak ada nama, NIP berikut pangkat/golongan ruang bagi pejabat yang namanya ditetapkan dalam seleksi terbuka tersebut. Hanya saja dalam lampiran 2 tersebut disebutkan jabatan minus nama pejabat yang dilantik,” ungkap Hendra.

Menurutnya, hal itu dapat menimbulkan multi tafsir. Sebab harusnya KASN menyebutkan secara spesifik nama, NIP dan Jabatan. Surat itu kata dia, juga tidak menyebutkan secara spesifik perihal Nizarli. Hanya saja disebutkan jabatan kepala biro pengadaan barang dan jasa. Tapi tidak ada nama Nizarli disitu, juga nama-nama pejabat yang dilantik. Ini aneh,” jelas Hendra.

Yang lebih anehnya lagi, bagaimana mungkin KASN luput melihat kelengkapan berkas Nizarli yang notabene pegawai pusat yang mengikuti seleksi tanpa menyertakan izin Rektor.

“Ini sangat aneh saya kira. Entah peraturan perundang undangan mana yang digunakan KASN sehingga luput melihat bahwa Nizarli tidak mengantongi izin Rektor ketika ikut seleksi JPT Pratama. Padahal yang namanya pegawai pusat tidak mungkin bisa ikut seleksi jabatan di lingkup pemerintahan daerah tanpa adanya izin dari atasan yang bersangkutan,” imbuhnya.

Hal ini bertentangan dengan Keputusan kepala badan kepegawaian negara nomor 13 tahun 2002 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000, dalam lampiran C Perpindahan Poin 7 Angka 11 disebutkan : Dalam hal perpindahan jabatan struktural tersebut bukan merupakan pindah instansi tetapi hanya dipekerjakan, maka keputusan pengangkatan dalam jabatan struktural dilakukan oleh instansi yang membutuhkan setelah menerima persetujuan dari Instansi asal yang proses penyelesaian perpindahannya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam angka 10 huruf a sampai dengan g, dan gajinya tetap dibayarkan oleh instansi induknya.

“Persetujuan pindah dari instansi asal yaitu Rektorat Unsyiah belum keluar namun sudah dilantik. Ini jelas melabrak aturan undang-undang,” tegasnya.

Hendra juga menyorot kasus tersebut dengan menuding Pansel (Panitia Seleksi) adalah dalang dibalik kisruh pelantikan Pejabat di Pemerintah Aceh. “Kalau kita tracking dari awal. Ini semuanya muaranya dari pansel. Bagaimana bisa pansel meloloskan seseorang yang dari awal memang tidak bisa ikut serta seleksi JPT Pratama karena tidak cukup syarat yaitu persetujuan instansi induknya. Hal ini harusnya disadari dari awal oleh tim pansel,” terangnya.

Tidak cukup syarat karena disebut beda instansi. Rektorat Unsyiah merupakan instansi vertikal sedangkan Pemerintah Aceh horizontal. “Bagaimana mungkin pemerintah daerah bisa meloloskan bahkan melantik pegawai pusat yang tidak dapat izin dari instansi induknya. Ini benar-benar tidak masuk akal bagi saya.

“Satu kemungkinan yang paling masuk akal adalah adanya keterlibatan orang dalam dari tim pansel sendiri yang sejak awal memuluskan langkah Nizarli menjadi Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa,” pungkas Hendra.