IJN | Medan - Kejaksaan Tinggi Medan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SK2P) Nomor B-982/N.2.10/Ft.2/07/2018, tanggal 13 Juli 2018 atas nama Boy Hermansyah, yang sebelumnya sudah di tetapkan sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada tahun 2015.
"Keluarnya surat penghentian penuntutan ini di ketahui dalam persidangan Praperadilan yang di ajukan oleh Jaringan Advokasi Rakyat Indonesia terhadap Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara karena tidak melimpahkan perkara dengan terdakwa Boy Hemansyah dalam perkara korupsi BNI Cabang Medan yang merugikan Negara 117 Milyar.
Sementara empat tersangka lainnya telah di vonis oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap yaitu:
Pertama; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 756 K/PID.SUS/2014 atas nama Terdakwa Radiyasto, di hukum 3 tahun dan denda Rp 100 juta,
Kedua; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 757 K/PID.SUS/2014 atas nama Terdakwa Titin Indriany, di hukum 4 tahun dan denda Rp 500 juta,
Ketiga; Putusan Mahkamah Agung Nomor: 758 K/PID.SUS/2014 atas nama Terdakwa Darul Azli, SE, di hukum 4 tahun dan denda Rp 500 juta,
Keempat; Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 40/PID.SUS.K/2013/PT.Mdn, di hukum penjara 1 tahun dan denda Rp. 50.000.000,-
Sebelumnya Kejaksaan Tinggi sumatera Utara masih terus menyelidiki temuan bukti baru kasus korupsi kredit fiktif senilai 117 Milyar di Bank BNI 46 SKM Cabang Jalan Pemuda Medan, dan melibatkan Tersangka Boy Hermansyah, pada 8/8/2017, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Sumut, Sumanggar Siagian menyampaikan Kejati Sumut tetap akan menyelidiki kasus BNI 46 yang merugikan keuangan Negara tersebut dan tidak ada istilah di hentikan pengusutannya, “jadi, kasus BNI 46 itu, akan dilanjutkan proses hukumnya, tidak akan di hentikan” ucap juru bicara Kejati Sumut saat itu.
JARI: SK2P Kajati tidak Logis
Ketua Jaringan Advokasi Rakyat Indonesia (JARI), Safaruddin, menyampaikan bahwa di keluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SK2P) oleh Kejati Sumut terhadap Boy Hermansyah sangat tidak logis dan mengada-ada, pasalnya SK2P tersebut di keluarkan pada saat sidang Praperadilan berlangsung, dan di ajukan pada tanggal 13/7, pas pada hari ke keluarkannya SKPP tersebut, Safar menilai, SKPP ini terlihat sangat di paksanakan, padahal dua hari sebelumnya (11/7) Kajati dalam persidangan menyampaikan bahwa kasus Boy Hermansyah belum di lakukan penghentian penyidikan (SP3) dan penghentian penuntutan (SK2P), dan perkara Boy Hermansyah telah di nyatakan lengkap oleh Penuntut Umum (P 21) pada tanggal 24/6/2015.
“SK2P ini sangat tidak logis dan terlihat sangat di paksakan, SK2P ini dikeluarkan dengan tiba-tiba, padahal dua hari sebelumnya masih di katakana bahwa perkara Boy Hermansyah sudah P21, tapi tiba-tiba di hentikan penuntutannya, ini sangat tidak masuk akal” kata Safar kepada kepada IJN, minggu 15 Juli 2018.
Safar juga menilai bahwa SK2P yang di keluarkan oleh Kejati Sumut bertentangan dengan UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, Pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; dalam penjelasan nya yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentinganbangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XIV/2016 menyatakan ketentuan deponering yang dijelaskan dalam Pasal 35 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
“kami tidak melihat adanya alasan-alasan sebagaimana di atur dalam UU terhadap SK2P ini, dan keputusan Kejati Sumut menerbitkan SK2P ini dengan pertimbangan bahwa perumusan perbuatan korupsi yang dilakukan secara bersam-sama dalam perkara ini terlihat dari jalinan kerjasama yang saling berkaitan dan dipahami diantara pejabat-pejabat BNI SKM Medan tersebut yaitu Drs. Rudiyasto, Titin Indriyani, Darul Azli, dan dengan KJPP atas nama Samsul Hadi, tetapi tidak termasuk dengan Boy Hermansyah, adalah pendapat yang keliru dan melampaui kewenangannya, karena kewenangan menilai benar salahnya itu merupakan keweangan Pengadilan, tugas jaksa adalah mengajukan ke pengadilan, hakim yang akan memutuskan benar salahnya perkara yang di ajukan oleh Jaksa” terang Safar.