IJN - Jakarta | Pengamat Hukum Petrus Selestinus menilai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan untuk memperkuat KPK. Menurut dia, DPR dalam mengubah sebuah regulasi tak mungkin akan asal-asalan dan bakal melemahkan lembaga negara.
Ia mengimbau mahasiswa untuk segera membentuk tim khusus yang bertugas mengkaji UU KPK hasil revisi secara materil dan formil. Sehingga bisa menelaah secara jauh baik dan buruk dari peraturan yang baru tersebut.
"Namun ada sejumlah poin yang memang perlu dikaji ulang karena memang menimbulkan perdebatan di internal KPK maupun di ruang publik," kata Petrus dalam diskusi bertajuk "Polemik UU KPK, Judicial Review atau Perppu?" di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Sementara itu, akademisi Universitas Atmajaya, Daniel Yusmic menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perppu KPK) belum perlu diterbitkan. Hal tersebut karena kondisi negara dinilai belum terlalu genting.
"Apakah saat ini kita sedang dalam keadaan darurat? Tentunya hal ini perlu kita diskusikan bersama. Antara Perppu dan judicial review, keduanya ialah langkah konstitusional dalam bernegara namun tentunya akibat hukum dan politiknya berbeda," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Politik Wain Advisory, Sulthan menyatakan, ada tiga keadaan yang perlu diperhatikan sebelum menerbitkan Perppu. Yakni, kebutuhan mendesak atau keadaan genting yang memaksa.
"Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membentuk UU secara prosedur," kata dia.
Menurut dia, jika nanti Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menerbitkan Perppu KPK, masyarakat yang tak terima dengan UU KPK hasil revisi bisa mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Masyarakat agar menggunakan jalur konstitusional yang telah disediakan UU untuk menyikapi polemik UU KPK yakni dengan melakukan judicial review di MK, legislative review melalui DPR ataupun executive review sebagai alternatif bagi presiden," katanya.
Okezone