30 Jun 2020 | Dilihat: 1247 Kali

Degradasi Pendidikan Aceh Besar Akibat Lemahnya Kontrol Sosial

noeh21
Ist
      
IJN - Aceh Besar | Disentralisasi pendidikan di Aceh Besar kiranya semakin mengerucut kepada daerah daerah sentral seperti Ingin Jaya, Darul Imarah, dan Sukamakmur, yang secara ekonomi dan politik termasuk kategori eksklusif.

Namun dibalik daerah yang tersebut
sebelumnya ada daerah daerah di Aceh Besar yang hari ini minim atensi dari Pemerintah atau dinas terkait, katakanlah Pulo Aceh, yang saat ini mungkin masyarakatnya sedang berdikari untuk pendidikan dan lain hal.

Bahkan, sebelum wabah Covid 19 menjadi kendala, pendidikan di Pulo Aceh berlangsung tidak normal seperti ketidak hadiran guru di ruang kelas ditambah lagi krisis
wabah seperti saat yang sama sekali tidak ada PBM (proses belajar mengajar).

 Selain Pulo Aceh, ada juga daerah yang hari ini terkendala fasilitas dalam melaksanakan PBM secara daring, seperti Lamteuba, Lhoong, Krueng Raya dan beberapa daerah lain yang termasuk daerah bisa dikatakan kurang perhatian dalam hal pendidikan.

Daerah pesisir dan pegunungan ini seharusnya menjadi indikator sukses tidaknya
penerapan sistem pendidikan di Aceh Besar, karena melihat kultur daerah dan jalur akses pelayanan yang sulit, bukan sebaliknya.

Idealnya, Dinas Pendidikan Aceh Besar hadir sebagai lembaga Pemerintah yang visioner, agar peserta didik di daerah tersebut merasakan kaidah sama rasa sama rata dalam hal pendidikan di Aceh Besar. Dan, disinilah letak kontrol sosial yang dibutuhkan masyarakat Aceh Besar.

Dalam dilema covid 19, akses pendidikan di daerah minim atensi ini terkesan statis. Kenapa demikian, akibat dinas terkait nge bug dalam hal inovatif dan implementatif.

Saat ini, dinas pendidikan hanya meneruskan kebijakan dari pusat dan belum ada satupun kebijakan atau solusi atas antisipasi terdegradasinya pendidikan di Aceh Besar. Kalau pun tidak bisa mengambil kebijakan interpersonal, setidaknya menyiapkan solusi yang konsrtuktif dan relevan dengan kondisi Aceh Besar saat ini. Karena secara realitas, Aceh Besar dan pusat berbeda terkait intensitas kasus covid 19.

Kalaupun tetap melaksanakan sistem PBM secara daring, daerah pesisir dan pegunungan di Aceh Besar tidak mumpuni dalam hal fasilitas seperti jaringan internet dan media, belum lagi permasalahan minat belajar peserta didik melalui daring.

da dua permasalahan fundamental yang penulis soroti terkait implentasi sistem PBM 
secara daring bagi siswa kelas 1 sampai kelas 4 sekolah dasar (SD).

Pertama secara psikologi siswa masih memerlukan mentor dan tidak mungkin kita berharap kepada orang tua, karena tidak semua orang tua mempunyai waktu luang. Belum lagi tuntutan ekonomi yang harus mereka penuhi.

Kedua, pendidikan karakter dan  moralitas lebih dibutuhkan siswa kelas 1-4 SD, dan tidak mungkin didapatkan secara daring. Alasan dalam kondisi covid 19 ini menghambat segala aktivitas dan tidak berjalan seratus perse. Sudah tabu untuk kita pahami, disini lah dibutuhkan peran Pemerintah untuk menstabilitaskan kondisi sosial dan pendidikan. Walaupun tidak terealisasi 100 persen, setidaknya 50 persen bisa kita wujudkan.

Covid 19 memang berbahaya. Namun, lebih berbahaya kalau 40 tahun kedepan Aceh Besar dipimpin oleh generasi apatis dan pragmatis. Kita sudah kalah dan tidak siap untuk melawan covid, tapi tolong jangan jadikan ini sebagai pembenaran atas kegagalan kebijakan Pemerintahan.

Sebelumnya, penulis dan beberapa pemuda Aceh Besar sudah melakukan audiensi dengan Komisi V DPRK Aceh Besar selaku leading sektor pendidikan dan turut dihadiri Ketua Komisi V, Muhibuddin (Ucok) terkait permasalahan pendidikan, serta telah menyerahkan draft sebagai pertimbangan solusi untuk permasalahan ini agar bisa disampaikan kepada Dinas Pendidikan Aceh Besar.

Dalam lampiran draft tersebut ada beberapa butir poin yang kami sampaikan, termasuk membentuk relawan pendidikan jika memang perlu untuk membantu proses belajar mengajar (PBM), namun sampai detik ini belum menuai hasil dan eksistensi apapun.

Jangan jadikan gerakan pemuda ini sebagai ancaman bagi dinas terkait. Kami pemuda
hanya menjalankan peran pemuda dalam amanah konstitusi, tapi ambilah ide dan gagasan yang kami sampaikan sebagai formulasi arah langkah pendidikan Aceh Besar.

Penulis berharap, DPRK Aceh Besar khususnya Komisi V tetap bekerja sesuai tupoksi dan harus faham fungsi kerja dewan sebagai lembaga pengawasan. Di lain hal, Dinas Pendidikan Aceh Besar terkesan lebih preferensi
dengan nilai-nilai estetika di bandingkan nilai-nilai esensi.

Seyogyanya pendidikan berbicara
tentang azas manfaat,, maka azas keindahan akan muncul dengan sendirinya, wara wiri di media akan jauh lebih estetik jika dibarengi dengan eksekusi. 

Oleh: Muhammad Reza Rachmadhani (Mantan Ketua HMJ Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP BBG | Pemuda Aceh Besar)
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas
Sentuh gambar untuk melihat lebih jelas