IJN - Banda Aceh | Menjelang berakhirnya tahun 2018, penyelesaian sejumlah proyek di Kabupaten Simeulue nampaknya tidak akan mencapai seperti yang diharapkan. Pasalnya, dengan penyerapan anggaran yang rendah itu, program pemerintah dikhawatirkan tidak bisa berjalan maksimal. Selain itu, penyerapan anggaran yang rendah itu dikhawatirkan mengakibatkan pengentasan kemiskinan di Kabupaten Simeulue menjadi terhambat.
Bagaimana tidak, realisasi pelaksanaan sejumlah paket kegiatan strategis bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2018 senilai Rp 47 Milyar di Simeulue dikhawatirkan tidak selesai tepat waktu. Penyelesaian proyek tersebut baru mencapai 32 persen hingga pertengahan Desember 2018.
Tentu hal tersebut terbilang mengecewakan untuk mengukur keseriusan pemerintah yang dipimpin H. Erli Hasim, SH, S. Ag, M.I.Kom dan Hj. Afridawati Darmili yang kini sudah memasuki tahun ke dua dan pihak rekanan juga perlu disorot dalam peran membangun kemajuan daerah.
Rendahnya penyerapan pada awal tahun bisa dibilang masalah rutin yang tak hanya dialami tahun ini saja, tapi sudah seperti menjadi masalah klasik yang tak kunjung bisa diselesaikan. Penyerapan anggaran yang rendah, menyebabkan dana tidak cepat tersalurkan kepada masyarakat dan tidak tersalur ke sistem perekonomian daerah, sehingga penerima manfaat tidak bisa menikmati hasil pembangunan yang dibiayai dari dana tersebut secara tepat waktu. Misalnya, dalam kaitannya dengan penyerapan DAK bidang pendidikan yang rendah, akan mengakibatkan pihak-pihak yang terkait di bidang pendidikan, terutama peserta didik (murid) tidak dapat menikmati output dari kegiatan DAK secara tepat waktu.
Padahal dana DAK bidang pendidikan digunakan untuk pembangunan dan pengadaan fisik, misalnya pembangunan atau rehabilitasi ruang kelas, pembangunan perpustakaan, pengadaan alat peraga pendidikan dan pengadaan buku, yang semuanya merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Lemahnya penyerapan anggaran bisa jadi sudah terlalu sering kita dengar melalui media massa. Tapi sebetulnya, adakah dampak langsung bagi masyarakat? Pemerintah harus memperbaiki dan memaksimalkan penyerapan anggaran di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan berani mengambil kebijakan yang tegas dalam memberikan amanah kepada pihak rekanan.
Jika tidak, hal ini dapat berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap kinerja kepala daerah, terutama di daerah-daerah yang sudah menggunakan sistem keterbukaan informasi seperti di Simeulue yang masih agak tertutup dalam mempublikasikan ke ruang publik setiap kegiatan yang dilakukan. Lemahnya serapan anggaran di berbagai SKPD disebabkan beragam hal, mulai dari kehati-hatian pejabat publik yang berlebihan sampai tumpang-tindihnya peraturan di pemerintahan pusat. Hal ini jelas harus dibenahi. Penyerapan yang menumpuk pada akhir tahun biasanya tak terserap maksimal dan menjadi Sisa Lebih Pembiayaan Angggaran (SiLPA). SiLPA ini menjadi peluang besar terjadinya"tricky" atau penuh tipu daya.
Sebagai Ilustrasinya, dana pembangunan Rp15 miliar yang dipakai itu Rp10 miliar. Kalau pejabat mau jahat dia bisa bilang atau buat laporan itu yang terpakai Rp 12 miliar, Rp 3 miliar dikembalikan, sisanya masuk kantong pribadi. Di samping itu, serapan anggaran yang tak merata juga menyebabkan para pegawai negeri sipil (PNS) berpotensi melakukan pemalsuan laporan pembiayaan.
​​​​Penyebab Penyerapan Anggaran Rendah
Ada empat faktor krusial yang membuat penyerapan anggaran rendah pada tahun 2010 dinilai rendah. Pertama, lemahnya perencanaan anggaran. Rendahnya daya serap mencerminkan perencanaan program dan proyek pemerintah yang lemah dan tidak matang. Rencana pelaksanaan jadwal kerja tidak tepat dan sulit dieksekusi sehingga sering dilakukan revisi, lihat saja hampir setiap tahun bisa dipastikan ada pembahasan APBK-P atau revisi anggaran.
Jika penyusunan anggaran dilakukan dengan valid dan akuntabel mestinya revisi anggaran tidak perlu terjadi. Dengan adanya peluang revisi anggaran menyebabkan ketidakpastian dan tertundanya keputusan alokasi anggran, padahal anggaran khusus untuk menyusun rencana anggaran masing-masing SKPK sangat besar bahkan ada pada unit satuan kerja.
Kedua, lamanya proses pembahasaan anggaran. Proses persetejuan terlalu lama dan penuh intrik politik. Pembahasan anggaran semestinya sudah final sampai rincian alokasi anggaran pada bulan Desember sehingga mulai Januari masing-masing SKPK sudah siap melaksanakan program kerja masing-masing, namun kenyataannya bertentangan. Yang terjadi, persetujuan APBK pada bulan Desember masih terbatas pada besarnya pagu masing-masing K/L sedangkan detailnya baru dibahas Januari-Maret. Alhasil, anggaran terlambat dieksekusi. Terjadinya keterlambatan ini merupakan kontribusi kedua belah pihak. Satu sisi, anggaran yang diajukan pemerintah sering banyak yang tidak tepat sasaran, sementara dari sisi DPR sendiri tak jarang banyak konflik berkepentingan.
Ketiga yaitu tahun anggaran pendek untuk mengeksekusi dan menyelesaikan Sebuah proyek yang berkualitas perlu waktu lebih dari satu tahun. Program dan proyek demikian mestinya dibuat dalam multiyear, tidak harus diselesaikan sekaligus dalam waktu yang sama dengan anggaran. Banyak kasus untuk belanja modal, proyek gagal dieksekusi karena terkendala waktu pelaksanaan yang tidak memungkinkan.
Selain itu, hal lain yang seringkali disebut-sebut sebagai faktor penting yang membuat penyerapan anggaran daerah sangat rendah adalah kegamangan para pejabat daerah dalam mengeksekusi anggaran karena khawatir terjebak dalam tindak pidana korupsi. Pemerintah Pusat tampaknya mencium kecenderungan itu.
Terakhir, lambatnya proses tender. Keppres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa perlu diperbaiki dan dilakukan sosialisasi lebih luas. Pejabat pembuat komitmen dan kuasa pengguna anggaran masih banyak yang kurang memahami ketentuan pengadaan barang dan jasa serta pelaksanaan anggaran.
Selain itu masih ada masalah dengan standarisasi biaya. Biaya di lapangan tidak sesuai dengan standar biaya umum dan standar biaya khusus mengakibatkan terbatasnya peserta lelang, pelelangan ulang, serta banyaknya sanggahan dalam proses lelang. Untuk memberikan kepastian hukum agar tidak ada kegamangan dalam menggunakan anggaran -termasuk anggaran daerah, terkait dengan pelaksanaan proyek strategis nasional terbitlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2016. Inpres tersebut tampak mencoba membentengi proyek-proyek tersebut dari kriminalisasi. Inpres tersebut diharapkan juga bisa mendorong para pejabat daerah untuk tidak takut menggunakan anggaran, sejauh terkait dengan proyek strategis.
Memasuki APBK 2019 mendatang, sudah seharusnya pemerintah melakukan sejumlah inovasi agar pengalaman lemahnya penyerapan anggaran tidak terulang kembali, Pemerintah Kabupaten Simeulue harus lebih serius dalam melakukan pemetaan kebutuhan di lingkungan masyarakat. (Al Ashab).