09 Oktober 2021 | Dilihat: 1219 Kali
Soal Vonis Bebas Terdakwa Perkosaan, Nasir Djamil: Dimana hati nurani hakim
noeh21
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), H Muhammad Nasir Djamil
 

IJN - Banda Aceh | Mahkamah Syariah (MS) Aceh memvonis bebas pelaku pemerkosaan  anak di Aceh Besar. Terdakwa berinisial SUR (45 tahun) merupakan ayah kandung dari korban dan berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) H Muhammad Nasir Djamil mengatakan, vonis bebas tersebut merupakan musibah terhadap jalannya aturan hukum.

Baca juga: Mahkamah Syariah Aceh Vonis Bebas Terdakwa Pemerkosaan Anak Kandung

"Saya secara pribadi sedih dan cukup menyayatkan hati. Dimanakah hati nurani hakim yang membebaskan terdakwa,"kata Nasir Djamil dikonfirmasi INDOJAYANEWS, Sabtu 9 Oktober 2021.

Dia menjelaskan, sebagaimana diketahui bahwa kita adalah welfare state, yang karena itu tujuan untuk melayani masyarakat (to serve the public).

Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara bertugas "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum (bestuurzorg atau public service)"  Tujuan utama penyelenggaraan peradilan adalah untuk melayani hak masyarakat untuk memperoleh keadilan (right to justice). Karena itu, negara wajib menciptakan lembaga peradilan yang bersih dan dapat dipercaya (clean and reliable).

"Putusan bebas terhadap terdakwa yang berstatus ASN, terhadap anak bawah umur tentu akan menyesakkan dada semua pihak, sungguh saya menyayangkan tragedi ini, karena pada dasarnya negara kita adalah negara hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka," jelas Nasir Djamil.

Baca juga: Alami Patah Tulang, Gubernur Aceh Dilarikan ke RSCM Kencana

Dia menyebutkan, kekuasaan hakim jangan sampai dimaknai sebagai kebebasan bagi hakim, karena kebebasan sangatlah penting, karena hakim harus benar-benar mengabdi kepada keadilan, dan tidak boleh berat sebelah. Bahkan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, hakim harus benar-benar bebas dari pengaruh atau tekanan dari manapun, termasuk dan terutama dari pihak-pihak yang berperkara. Tanpa kebebasan hakim, janganlah bermimpi ada keadilan dan supremasi hukum.

Baca juga: Terdakwa Pemerkosaan Anak Divonis Bebas, Kondisi Ibu Korban Disebut Tertekan

"Hukum di negara kita memang memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan hakim untuk mengajukan upaya-upaya hukum yang tersedia seperti banding, kasasi, peninjauan kembali, atau perlawanan (verzet),"sebut Nasir Djamil.

Akan tetapi dalam banyak perkara, terbukti bahwa upaya-upaya hukum tersebut tidak mampu memperbaiki atau memulihkan kesalahan hakim dan kerugian yang diderita oleh masyarakat (khususnya pencari keadilan).

"Hemat kami dalam case ini hakim Judex Factie telah salah menerapkan hukum, hahwa Judex Factie dengan melawan hak tidak mempertimbangkan secara alat bukti berupa surat-surat yang diajukan jaksa dimuka persidangan, salah satunya alat bukti visum yang dikeluarkan rumah sakit bayangkara di Banda Aceh. Dimana informasi dari pengacara yang mendampingi korban bahwa hasil pemeriksaan dokter spesialis kulit dan kelamin, serta hasil lab prodia, korban mengalami penyakit menular seksual yaitu Gonore. Dan juga ayah kandungnya sedang menghadapi persidangan narkotika juga,"jelasnya.

Baca juga: Polda Aceh Tetapkan 6 Tersangka Korupsi Pengaspalan Jalan di Simeulue

Dijelaskan, dibeberapa negara, konsep pergantian ganti rugi ini berbeda-beda. Ada yang diserahkan kepada hakim sendiri atau ganti rugi dilakukan oleh negara. Namun, di Indonesia saat ini masih ada SEMA No 9 Tahun 1976 yang menegaskan bahwa hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan tugasnya itu, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata mengacu kepada SEMA tersebut.

"Konstitusi kita menjamin bahwa setiap orang adalah sama di muka hukum, tanpa ada perkecualiannya [lihat Pasal 27 (1) UUD 1945]. Jadi, no man is above the law. Jadi dalam konteks perkara aquo, saya meminta Mahkamah agung segara melakukan pembinaan secara komperehensif terhadap hakim hakim secara umum dan secara khusus kepada Hakim Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh, Terutama dalam hal menilai alat bukti, karena hemat kami yang menjadi legal standing dari Undang undang Pertimbangan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU adalah bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ,'tambahnya lagi

Baca juga: Paman Kandung Perkosa Anak di Aceh Besar Divonis 200 Bulan Penjara

"Saya mendapat laporan dari jaksa Kejari Aceh Besar, bahwa jaksa akan melakukan upaya hukum kasasi, saya mendukung langkah tersebut. Saya mengucapkan terimakasih dan mengapreasiasikan hal tersebut. saya menaruh harapan sebesar besarnya kepada Majelis Hakim Agung yang mengadili perkara ini untuk menilai alat bukti dengan cermat dan teliti sehingga tidak ada masyarakat pencari keadilan yang dirugikan secara sistemik,"tutupnya 



Penulis: Hendria Irawan
Kantor Media Indojayanews.com
Klik Di Sini
Jl. Cendana Utama, lr.Jampeitam I
Kecamatan Syiah Kuala.
Kota Banda Aceh
Provinsi Aceh
Email : redaksiindojaya@gmail.com


Redaksi menerima kiriman opini. Panjang opini 500 – 600 kata dan dikirim ke: redaksiindojaya@gmail.com